SLB MAdina, Kota Serang, sedang membuat kerajinan tangan. |
Sekilas tampak seperti tidak ada yang
beda dari anak-anak ini. Senyum yang lebar dan keceriaan tanpa beban tergambar
jelas dari raut wajah mereka saat bermain bersama di halaman sekolah luar biasa
(SLB) Bayangkara, Kota Serang
Mereka seperti ingin bercerita pada
dunia, bahwa mereka juga punya kehidupan normal yang sama seperti anak kebanyakan di luar sana. Bisa
melakukan hal ini dan itu, belajar ini dan itu, hanya saja mereka terpisahkan
dengan sebutan anak autis yang kadang membuat orang segan untuk mendekatinya
atau bahkan sama sekali tidak mau berteman dengan mereka.
Di sinilah, di SLB, anak-anak luar biasa
ini saling berbagi, melengkapi, dan mengsisi satu sama lain sehingga mereka
merasa tidak kesepian dan memiliki teman. Meski terkadang tetap saja, ketika
harus kembali keluar sana kadang berhadapan dengan cemoohan bahkan ejekan
yang harus diterima yang membuat hati mereka sakit dan minder untuk
bergabung dengan ank-anak normal.
Ditemui di sela-sela jam istirahat,
gadis cilik siswi kelas I SMP, SLB Bhayangkara, Kota Serang, Devi Okataviana,
dengan uluran tangan yang ramah dan senyum terbuka mencurahkan isi hatinya pada
Radar Banten, Rabu (11/4). Devi mengungkapkan, penyakit yang dideritanya
yakni tunagrahita tidak menjadikannya merasa anak yang terbelakang. Justru
sebaliknya hal ini menjadi kekuatan dan dorongan untuk menunjukkan bahwa ia
mampu bersaing dengan anak-anak normal lainnya.
“Aku merasa biasa-biasa saja, tidak ada
yang aneh pada diriku. Aku suka melakukan banyak hal dan aku punya cita-cita
yang tinggi yaitu menjadi dokter,” ungkap gadis penyuka buku cerita ini.
Devi mengakui, meski hatinya ingin
sekolah di lembaga formal, tapi harus berpikir dua kali untuk melakukan itu.
Hal ini disebabkan anak-anak normal yang kurang menerima mereka, sehingga
membuat sulit untuk bergabung dengan lingkungan berbeda dengan keadaan dirinya.
“Aku ingin seperti anak yang lain,
hidupnya bebas tanpa diejek atau diolok-olok. Tapi, aku terima semua ini dan
aku merasa tidak sendirian ada mama dan keluargaku yang selalu menguatkanku. Di
sekolah pun dari SD hingga SMP aku sekolah di SLB ini, aku merasa nyaman dan
aman. Di sini aku juga punya teman banyak
dan kita saling menyayangi,” tuturnya dengan isak yang ditahan.
Devi merupakan salah stau anak luar
biasa dari sekian banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang perlu perhatian
lebih, dorongan semangat dan motivasi untuk berkembang. Di sini peran orangtua
sangat diperlukan, bagiamana orangtua harus bisa meyakinkan dan memapah mereka
untuk bisa berdiri, menjalani hari-hari mereka tanpa berpikir mereka kekurangan
suatu apa pun.
Untuk itu Rupi'ah, salah satu orangtua
yang memiliki anak berkebutuhan khusus asal Lopang Kecil, Kota Serang ini,
teramat sayang terhadap putrinya yang dikenal dengan muka kembar sedunia dan
menderita tunarungu. Bagi Rupi'ah, dengan memutuskan memasukkan anaknya masuk
sekolah luar biasa adalah hal tepat. Menurutnya, dengan demikian putrinya
memiliki kehidupan yang berwarna dengan bisa bersosilaisa dan berinteraksi
dengan orang luar.
“Mereka ini juga sama manusia yang harus
kita perlakukan dengan kasih sayang dan cinta. Hati saya merasa sedih tapi saya
yakin ini ujian dari Allah dan anak saya
ini anak yang luar biasa. Tinggal bagaimana kita memberi semangat, mengurusnya
dengan sabar dan telaten. Mengarahkan anak untuk mengikuti segala macam
kegiatan yang bisa mereka ikuti dan saya ajak kemana-mana. Saya selalu
menguatkan mental anak saya, meski kadang merasa cape sendiri karena anak
suka malas untuk berbuat apa-apa. Tapi,
saya yakin kesabaran saya akan membuat anak saya bisa berkembang dan maju,” ucap
ibu ini dengan raut wajah sendu.
Rupi'ah menuturkan, salah stau faktor
yang menyebabakan adanya kelainan pada anaknya yakni di sebabkan karena stres.
Rupiah menjelaskan, untuk para ibu jangan sampai pada masa-masa kehamilan
dibawa beban, hal ini akan berdampak buruk pada calon bayi.
“Dulu saya sempat stres, sehingga tidak
menyadari kalau hal ini mengakibatkan cacat pada anak saya,” ungkapnya.
Mereka
Sama

SLB Bahari, Labuan, Pandeglang.
Lantas apa pendapat masyarakat mengenai
bagaimana pola pengasuhan yang baik untuk anak autis. Sejatinya, 2 April yang
menjadi hari autis sedunia menjadikan masyarakat sadar, tidak boleh
menganaktirikan anak-anak berkubutuhan khusus atau autis ini. Eva Fajriati
mengatakan, sebaiknya orangtua tidak boleh merasa malu dan takut bila anaknya
mengalami autis.
“Mereka juga kan sama seperti anak
lainnya. Orangtua harus lebih aktif mencari berbagai informasi yang mendukung
pertumbuhan anak autis karena yang saya tahu anak autis itu mengalami gangguan
pertumbuhan di otak yang menyebabkan anak kesulitan berinteraksi, kadang
emosinya juga labil, gangguan sensorik dan motoriknya terhambat sehingga
perkembangannya terlambat atau tidak normal,” ujar wanita yang berprofesi
sebagai guru SD di Pandeglang ini.
Ia juga menjelaskan, orangtua jangan
terlalu banyak memarahi jika anak melakukan kesalahan. “Mereka berprilaku
seperti itu mungkin untuk mencari perhatian sekitar. Ketika anak mulai belajar
di sekolah juga pastikan pihak sekolah mengetahui keadaan anak agar mereka bisa
mempersiapkan segalanya dengan lebih baik. Misalnya menciptakan lingkungan yang
sesuai untuk anak autis,” tuturnya.
Yudi Apriatna, PNS di Pandeglang,
mengatakan, anak autis tidak boleh dipandang sebelah mata. “Menurut saya mereka
harus diperlakukan seperti anak yang lainnya. Membutuhkan kesabaran dan
pengertian yang lebih. Gali juga bakat-bakat serta potensi-potensi yang ada.
Karena anak autis juga memiliki kelebihannya masing-masing. Bukan tidak mungkin
mereka dapat menjadi orang yang berhasil jika dididik dengan baik oleh orangtua
dan lingkungan yang baik,” jelasnya.
Ia juga mengatakan, jika anak diduga
mengalami autis harus segera diperiksa ke dokter ahli. “Sehingga orangtua bisa
mengetahui cara dan metode apa yang harus
dilakukan agar pertumbuhan anak dapat maksimal. Anak juga harus sering
diajak berinteraksi,” ujarnya.
Fatihatun Rosihah, dosen Bimbingan Anak
Berkebutuhan Husus (BABK) UPI Kampus Serang mengatakan, anak yang memiliki
keterbelakangan mental, autis atau semacamnya itu harus diperlakukan istimewa.
“Dari sebutannya saja anak berkebutuhan khusus jadi biasanya mereka lebih
memerlukan perhatian yang lebih. Dalam hal Intelegent Question (IQ) mereka
memang lebih rendah jika dibandingkan dengan kita yang normal, akan tetapi
meskipun begitu ketika kita bisa mengatasi dan membimbingnya dengan baik banyak
juga diantara mereka yang berhasil dalam bidang seni atau hal lainnya,”
katanya.
Kata dia, ada juga hal unik pada anak
berkebutuhan khusus yang sering disebut debil. “Biasanya anak tersebut akan
cepat tanggap jika diberi perintah oleh orang terdekatnya. Hal tepenting yang
harus diperhatikan dari semua jenis anak berkebutuhan khusus ialah kita tidak
boleh memandang rendah dan harus lebih memperhatikan mereka,” tutupnya.
Hak
yang Sama
Anak
penyandang autis adalah bagian dari anak Indonesia. Mereka punya hak yang sama
dengan anak normal lainnya. Untuk itu, peringatan hari autis sedunia yang
diperingati setiap 2 April ini dapat menjadi momentum yang pas agar
meningkatkan kesadaran masyarakat tentang autisme.
Fakta membuktikan,
autisme bukanlah sesuatu hal yang baru. Secara medis, autisme merupakan
gangguan perkembangan yang kompleks. Gangguan tersebut meliputi perbedaan dan
ketidakmampuan dalam berbagai bidang. Misalnya dalam kemampuan komunikasi
sosial, kemampuan motorik kasar, motorik halus, serta tidak mampu berinteraksi
sosial. Sehingga seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri.
Data anak yang
menderita autis di berbagai negara menunjukkan angka bervariasi. Unesco pada
2011 melaporkan, tercatat 35 juta orang penyandang autisme di seluruh dunia.
Sementara di Asia, pada penelitian Hongkong Study 2008, tingkat kejadian
autisme dengan prevalensi 1,68 per 1.000 untuk anak di bawah 15 tahun.
Menurut Chika
Detrias, mahasiswa semester IV jurusan Perpajakan Untirta, anak penyandang
autis pantas diperlakukan layaknya anak normal lain. “Autisme itu bukan
penyakit, tapi yang jelas orang penyandang autisme itu sama seperti kita. Dan
kita sebagai orang yang bisa dibilang jauh lebih beruntung dibanding mereka,
tidak boleh membeda-bedaknya. Mereka juga butuh perhatian dan kasih sayang dari
kita,” ungkap Chika.
Chika menambahkan,
dalam berkomunikasi dengan orang penyandang autis kita harus meningkatkan
kesabaran. “Sebenarnya saya tidak memiliki keluarga yang menyandang autis,
tetapi dilingkungan rumah saya ada anak yang menyandang autis. Dalam
berkomunikasi dengannya kita harus sabar. Disamping itu, saya bersyukur pada
Tuhan karena saya bisa terlahir dengan normal. Tetapi tetap saja, sebagai
manusia normal kita harus tetap memperlakukan anak penyandang autis layaknya
anak normal lain,” tambah Chika asal Tangerang.
Fhani Mauliani, ibu
rumah tangga asal Pandeglang ikut membenarkan Chika. “Secara medis saya tidak
tahu autis ini semcam penyakit atau bukan, tetapi yang jelas autism ini
merupakan kelebihan yang diberikan Tuhan. Dan pada dasarnya semua perilaku anak
penyandang autis ini tidak ada yang tanpa sebab. Untuk itu, tinggal bagaimana
kita menanggapi perilaku autis tersebut,” ungkap Fhani.
Pembelajaran
terhadap anak autis harus dilakukan secara khusus, mengingat peningkatan jumlah
anak berkesulitan belajar, terutama penyandang autisme. Sampai saat ini belum
adanya upaya yang sistimatis untuk menanggulangi kesulitan belajar anak
autisme, maka diperlukan upaya untuk meningkatkan pelayanan pendidikan secara umum.
Peningkatan pelayanan pendidikan itu diharapkan dapat menampung anak autisme
lebih banyak serta meminimalkan problem belajar terutama pada anak-anak autisme
(learning problem).
Anak
autis (berkebutuhan khusus) tidak peka untuk bersosialisasi, dikarenakan anak
tersebut mengalami kelainan, baik dalam hal genetik atau saraf. Peran guru dan
waktu pembelajaran sangat mempengaruhi perkembangan anak autis tersebut. Anak
autis dengan anak biasa dalam hal perlakuanh harus dibedakan, dan tidak heran
banyak kendala-kendala yang di alami guru dalam hal mendidik dan mengajar anak
autis.
Mursilawati, guru Sekolah khusus (SKh) Bahari, Labuan, Pandeglang
mengungkapkan, guru harus benar-benar aktif dankreatif dalam hal kegiatan
belajar mengajar (KBM), setidaknya guru harus mampu menggali kemampuan
anakautis. “Pada anak autis ada sistem motorik yang terputus, apabila diterapi
sejak dini, ada kemungkinan anak tersebut kembali normal atau minimal skill-nya
muncul. Untuk kendala, mungkin dari alat-alat KBM masih kurang lengkap, karena
anak autis cenderung aktif dan cepat bosan, sehingga KBM tidak boleh monoton,”
tuturnya
Ia
menambahkam, seorang guru juga tidak diperkenankan memaksa kehendak anak.
“Biarkan anak bergerak bebas selama tidak membahayakan dirinya dan
teman-tema

SLB Bhayangkara, Kota Serang, sedang menikmati waktu istirahat.
nnya, tetapi tingkah lakunya harus diarahkan dan diperhatikan.
Apabila kita kasar dalam hal mendidik, kemungkinan anak autis akan
mengikutinya,” tambahnya.
Meskipun pemerintah sangat menganjurkan untuk membedakan tempat
pendidikan anak autis dan normal, tapi tidak demikian untuk Nining Rohimah,
salah satu staff pengajar di TK Insan Cendekia yang mengaku mempunyai beberapa
siswa yang autis.
Nining
menuturkan, apabila dilakukan dengan bertahap, meskipun disatukan dengan anak
normal, perkembangan psikologis anak autis tersebut malah akan baik. “Asalkan
dilakukan secara rutin dan dengan therapi dan pendekatan tertentu, agar
pembiasaan dan sosialisi anak terbangun. Selain itu bimbingan secara khusus
harus dilakukan dan teratur, karena anak autis sangat membutuhkan perhatian
khusus dibanding anak biasa,” ungkap Kepala TK Insan Cendekia, Walantaka,
Serang ini.
Ia menambahkan, dalam hal ini pendidikan
pembiasaan dan pengarahan khusus tidak terlepas dari kegiatan pembelajaran.
“Awalnya siswa autis tersebut cenderung pendiam dan susah bergaul. Justru
dengan melihat anak normal, anak autis tersebut dapat bermain dengan aktif,
meskipun membutuhkan waktu yang relatif lama. Alhamdulilah anak autis yang
tadinya pasif, secara perlahan dapat spontan berbicara, mengenal warna, dan
bergerak khusus. Meskipun dalam hal ini faktor afektif (sikap) lebih maju
dibanding faktor pengetahuannya (kognitif),” pungkas wanita yang tinggal di
komplek taman Pipitan, Walantaka, Kota Serang ini.
![]() |
SLB Bahari, Labuan, Pandeglang. |
SLB Bhayangkara, Kota Serang, sedang menikmati waktu istirahat. |