Rabu, 08 Agustus 2012

Dua Cinta Terkubur Senja

Terbit dalam antologi kumpulan cerpen Teen On The Highway

Alun-alun Kota Serang,  membawaku pada luka yang menganga atas nama cinta dan persahabatan. Mempermainkan lembut jemariku, meremas rasa yang menyesakan dada. Sendiriku mengembara mencari ketenangan dengan sejuta rasa bersalah padanya. Di setiap pojok pendopo yang gelap kutemui mereka-mereka, yang kata orang sedang berpacaran  saling melepas tawa.

Kukulum senyum dengan derai air mata. Terlintas Bayang wajahnya saat menggenggam tanganku, di ujung pendopo waktu lalu. Aku merindukan suasana itu, menghabiskan waktu yang kurasa tidak sia-sia karena aku dan Andra saling melengkapi dia mendampingiku saat aku menjalani hari-hari tersulit untuk aku lalui sendiri.  Dan sebaliknya aku selalu berusaha ada buat dia. Namun aku harus tersadar, saat orang-orang itu menatapku curiga. Semua telah pergi, semuanya telah berakhir.

Kuputuskan melangkahkan kaki pergi dari kenangan yang menyakitkan. Meski lagi-lagi semua terasa berat dan menyiksa. Akhirnya lelahku membawaku duduk merenung menatap bintang yang sedang tidak nafsu mengajaku bercengkrama malam ini.  Entah ia murka atau memang benci mendapati keegoisanku. Mempertahankan sebuah perasaan yang jelas akan sama-sama menyakiti hati kami. Ya, hati aku dan dia. Dia, sahabatku. Sahabat yang baru saja akan mewarnai hari kebersamannya dengan laki-laki yang juga sahabatku. Laki-laki yang memberi cinta di antara kami.

Andai saja dari awal aku tahu, perasaan ini akan hadir menghampiriku. Akan aku tolak dan tak akan kubiarkan merasuk relung hatiku. Tapi, siapa yang tahu kapan kita memilki perasaan itu, kita tersakiti dan kita terluka. Aku tidak pernah merencanakan pertemuan dengannya. Mungkin takdir yang membawaku mengenalmu, Andra, dan juga mengenal Rita. Aku tidak pernah menyesali pertemuan ini. Dan aku juga tidak bisa menyalahkan diriku sendiri atas perasaan ini.

Tuhan, egoiskah aku ? Keluarkan aku dari sangkar cinta yang memenjarakan hati ini. Maafkan aku  terkadang kuacuhkan malaikat yang selalu mengingatkanku rasa ini salah jika kuteruskan.

Seperti tersembunyi dibalik sayap malaikat, aku masih menyimpan harap atas rasa terlarang ini. Mengabaikan tangis yang tumpah dari pemiliki bola mata indah itu, bola mata sendu milik  Rita.

Masih di sudut malam, aku menyendiri dengan segala ketiadamengertianku. Biarlah luka menyelimutiku lewat dinginnya malam ini. Aku tidak mau pulang.

**********

“Aku tidak pernah membayangkan akan seperti ini jadinya. Jika aku bisa memilih sudah kupilih dari dulu,” kata Andra, lirih mendarat didaun telingaku. Membuat aku panas dan isak tertahan diujung tenggorokan.

“Lalu apa yang harus kulakukan, semua ini salahku. Andai saja aku mampu menahan emosiku untuk tidak marah terhadap sikapmu malam itu, mungkin masalah ini tidak akan serumit ini,” sesalku  kukulum dengan paksa.

“Tiada yang salah, dan nggak usah cari siapa yang salah. Kamu harus membantuku mencari solusinya. Aku tidak ingin ada yang terluka, diantara aku dan dia, diantara aku dan kamu dan diantara kamu dan dia,” Andra cukup bijak mengatasi persoalan ini. Dan aku terdiam sesaat, membiarkan udara segar masuk keparu-paruku.

Sementara langit masih mengalunkan nyanyian awan gelap atas mendung yang beberapa hari ini nampak sedih. Sedih karena burung-burung tak lagi hinggap dipohon-pohon yang sama. Semua seakan berjalan sendiri memilih arah jalan yang berbeda. Tawa itu tidak lagi sampai pada awan putih.  Seperti Rita tak lagi bercerita kepadaku. Ia pergi bersama luka yang kutorehkan padanya. Tuhan, andai aku bisa, akan kupilih jalan hidupku tanpa harus menyakiti orang-orang yang pernah kenal baik denganku.

Aku sadari sepenuhnnya pada akhirnya semua ini pasti akan terbongkar. Kebersamaan itu, perhatian lebih, tawa hangat yang selalu Andra tawarkan, seharusnya tak kuartikan lebih juga. Terlalu bergairah aku memaknai arti rasa yang justru kini menghancurkanku. Menghancurkan perasaanku, menyakiti hatinya, dan aku terkukung oleh rasa bersalah dan juga kebencian terhadap Andra. Yang seakan lari dari masalah.

“Rita, andai saja aku bisa menggenggam waktu. Akan aku putar lagi dan ku ubah semua menjadi indah tanpa harus ada rasa cinta dari laki-laki yang sama yang menyekat persahabatan kita,” tangisku tumpah menelan rasa kecewa pada diriku sendiri.

*******

“Tolong jelaskan kepadaku Rifa ! Apa maksud dari semua ini. Apakah aku yang salah, hadir diantara kalian. Aku mungkin wanita bodoh yang tidak tahu apa-apa. Yang kutahu, kamu sahabat dekat Andra dan aku kekasihnya. Hanya itu yang ku tahu Rifa. Ku rasa  wajar, jika aku menangkap hal yang aneh diantara kalian. Kalian seperti memilki hubungan yang lebih dari seorang sahabat. Kemarahan kamu pada Andra, kata-katamu lewat sms yang kubacaa, membuat aku bingung ada apa sebenarnya diantra kalian. Apa maksud kata-kata terindah yang kamu katakan pada Andra? Apa yang sudah kalian lakuakan? Aku harap ini Cuma perasaanku saja, aku hanya inginkan kejujuran dari hati kalian. Aku tidak akan pernah marah dan aku rela jika itu memang benar,” pertanyaan itu terlontar dari mulut kelu Rita, semua kegalauannya ia tumpahkan meski  terasa berat dan perih menyayat. Bukan hanya dia saja  yang terlihat perih, tapi aku juga.

Entah apa yang mesti aku jawab dan jelaskan padanya. Aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam, memejamkan mata dan berharap angin membawaku terbang ke singgasana cinta. Pertanyaan itu begitu membuat aku tersungkur kelembah hati yang sulit aku jelaskan. Aku memang sahabat dekat Andra, tapi aku juga menjadi bagian dari hati Andra. Dia juga menjadi keka....., akh, sulit rasanya kuteruskan kan perkataan itu. Karena aku tahu pasti akan menyakitkan hatinya. Dan aku harus kembali menelan ludah, aku tidak boleh egois menginginkan setatus hubunganku  dengan Andra  diketahui semua orng termasuk Rita.

Dengan sedikit bergetar akhirnya mulutku terbuka juga, namun sulit rasanya untuk mengeluarkan satu kata  pun dari mulutku. “Hentikan semua kecurigaanmu Rita, tenang saja. Semua perasaanmu salah, diantara kami tidak ada apa-apa. Ini salahku terlalu menuntut perhatian pada Andra, padahal siapa aku ? Aku hanya sahabatnya. Kamu tidak bodoh Rita, dan kamu juga tidak salah, hadir diantara kami. Karena pada awalnya juga, akulah yang hadir diantara kalian. Bukan kamu,” entah dengan kekuatan dari mana akhirnya  aku bisa mengungkapkan semua perasaanku yang sangat menyakitkan. Aku tidak mampu menahan air mataku untuk tidak jatuh.

Setelah itu perasaan kami kembali dipermainkan oleh angin nakal yang memainkan helaian anak rambut yang indah.Kami hanya tertegun menyesali apa yang telah terjadi. Namun kami juga tidak bisa meningalkan cinta kami pada laki-laki yang sama. Keegoisan berhasil memainkan perasaan kami. Seperti bisu, Rita pun tidak berkomentar apa-apa lagi.

Sementara Andra tidak banyak cakap bahkan entah mengapa ia seperti menghindari polemic yang terjadi, membuat kami keheranan. Entah apa yang terjadi,semua seakan ada yang ditutupi dan dirahasiakan.  Andra seakan susah untuk menjelaskan pada Rita, tentang setatus kedekatanku dengannya. Disatu sisi dia juga tidak mau menyakiti hatiku dengan mengatakan tidak ada hubungan apapun antara aku dan dirinya.

Terakhir aku bertemu dengannya ia terlihat pucat dan seakan menahan kesakitan yang hebat. Sebelum ia pergi, ia hanya menittipkan senyum terindahnya, yang terkadang dari senyum itulah aku sulit memejamkan mataku terlelap dalam tidur malam. Dan kini aku hanya bisa menyaksikan senyum itu dalam bayang kecemasaanku akan keadaannya. Tidak mungkin kutanyakan pada Rita soal ini, mungkin dia juga masih menyimpan kesal atas sikapku kemarin.

Lalu apa yang harus kulakukan, semua ini benar-benar membingungkan. Kemana Andra pergi, apa yang terjadi dengannya. Mama, ya mama Andra. Sekarang aku tahu kuncinya, mama pasti tahu dimana Andra berada. Akhirnya kuputuskan menelpon mama, dan aku terkejut mendengar isaknya diujung telpon.

“Nak, maafkan mama baru mengabarimu soal keadaan Andra. Andra, Andra,” suara mama tertahan tangis membuat aku semakin takut terjadi sesuatu dengannya.

“Kenapa dengan Andra, Ma? aku mohon di mana Andra?  Ngomong, Mah! jangan membuat aku bingung dan takut seperti ini,” desaku menjalar sampai ke ubun-ubun. Dengan terbata-bata mama meneruskan perkataannya, “Andra sedang istirahat, Sayang. Andra mungkin kelelahan karena kemarin ikut pertandingan futsall bersama teman-temannya.” Ada yang aneh dari perkataan mama. Mama pasti berbohonng padaku.

Aku tidak boleh diam seperti ini, pasti telah terjadi sesuatu pada Andra. Akan aku ajak Rita pergi bersamaku menemui Andra di rumahnya. Biar Andra jelaskan semuanya. Dengan sebait pesan pendek yang aku kirimkan pada Rita, ia pun mau aku ajak menemui Andra di rumahnya. “Rita, kita tidak mungkin diam menungu Andra seperti ini. Aku tidak mau kamu masih memendam rasa curiga kepadaku. Aku ingin kamu tahu yang sebenarnya dari mulut Andra langsung,” sapaku memecah keheningan yang menyergap. Rita hanya mengangguk tanpa banyak tingkah.

Akhirnya sampailah aku dan Rita di rumah Andra. Ada rasa yang tiba-tiba menyesakan dadaku menatap wajah mama Andra yang terlihat sedih.”Mama yakin kalian berdua pasti datang menemui Andra. Karena kalian adalah wanita yang sangat Andra sayangi. Pergilah temui Andra di pantai Karangbolong. Dia menanti kalian di sana,”  mama seakan sudah tahu apa yang hendak Andra lakukan pada kami.

Mulut gua Karangbolong, Anyer, menganga menyambut kedatngan kami. Dan dibalik karang besar itu tubuh Andra menyandar penuh beban. Penat dan pucat pasai menghiasi wajah gantengnya. Seakan ingin melepas kerinduannya rita berlari memeluk tubuh Andra, dan kakiku terhenti. Tidak mungkin aku memeluknya, memeluk kekasihnya yang juga kekasihku. Hanya air mata yang menetes mengeluarkan rasa sakit ini. Andra hanya menatapku pilu. Dan aku tertunduk tak kuasa menyaksikan semua.

Andra melepaskan pelukan Rita dan memapahnya menghampiriku. Membuat aku kikuk dan salahtingkah. Buru-buru kuseka air mataku, dan kembali tersenyum. “Rifa,” suara berat Andra menyapaku membuat jantungku berdekup kencang dan mungkin bisa memecahkan karang dilautan. Ada rindu membuncah di hatiku. Aku hanya mengulum senyum tanda membalas sapaan Andra.

“Maafkan aku, Rita, Rifa, mungkin aku membuat kalian kesal. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan pada kalian berdua. Kalian adalah wanita hebat yang aku kenal penuh sayang dan perhatian. Maafkan aku telah menyakiti hati kalian. Aku tidak bisa memilih diantara kalian. Maafkan aku Rita aku juga mencintai Rifa. Dan kini cinta kalian berdua hadir mengiasi hidupku yang mungkin akan segera berakhir,” cakap Andra membelakangi kami dan perkataanya membuat aku semakin takut kehilangan Andra. Begitu pun Rita terlihat luka begitu dalam pada bola matanya.

“Plakkk,” Rita membalikan tubuh Andra dan menamparnya keras. Aku hanya terbengong menyaksikan hal itu, tidak menyangka tangan halus dan lembut Rita dinodainya.

“Aku tidak menyangka kamu  lakukan  ini  padaku  Andra. Kamu menduakan cintaku dengan Rifa yang sudah kuanggap saudara sendiri. Aku  kecewa pada kalian berdua,”  isak Rita,  seraya meningalkan aku dan Andra.

“Dengarkan aku Rita, jangan pergi,” ucap Andra sedikit berlari mengejar Rita dan aku hanya menjadi patung tak berguna diam ditempat dengan sejuta air mata menetes deras.

 “ Kamu mau apa lagi Dra, kamu mau menyakiti hati aku lebih dalam lagi,” nada Rita tinggi sambil melepas pegangan tangan Andra yang erat.

“Aku mohon kalian berdua jangan saling membenci karena akulah yang salah, telah bermain dihati kalian. Tapi, asal kalian tahu,  aku bersyukur bertemu dengan kalian karena kalianlah membuat hidupku kembali berwarna cerah. Karena kalian aku berani bermimpi dan melangkah. Karena kasih sayang dan perhatian kalian, aku berani bangkit dari keterpurukan ini,”  jelas Andra membuat suasana semakin sunyi dengan ketiadamengertian.

“Maksud kamu apa Dra, kamu lagi nggak beraktingkan. Disini nggak ada yang buka kasting buat  jadi pemain sinetron. Sudahlah, aku nggak akan anggap kalian ada lagi dalam hidup aku. Terima kasih yah, buat luka yang kalian beri buat aku. Semoga kalian bahagia,” kata Rita sambil melangkah lunglai.

Sementara aku lagi-lagi hanya terdiam kaku. Namun aku terkaget melihat Andra terjatuh limbung dan terkulai lemah. Sontak aku berterik memenggil Rita. “Rita, Andra. Andra jatuh, darah Rita,” Aku berteriak dalam kekacauan. Dan Rita menoleh menyadari keadaan itu dia langsung menghampiri aku dan memeluk Andra.

“Maafkan aku,  aku tidak pernah memberitahukan tentang penyakitku. Dua tahun lalu aku merasa hidupku gelap dan kelam. Ya, dua tahun lalu saat aku divonis dokter mengidap penyakit mematikan  kanker otak,” Andra bersimpuh menatap laut lepas. Ia seakan sudah tidak sanggup menahan beban itu.

Aku dan Rita seakan bagai diterpa gelombang lautan, remuk tak berbentatuk. Kami pun ikut bersimpuh memeluk kekasih kami yang tengah sekarat. Perkataan Andra benar-benar memukul jiwa kami. Ingin rasa aku yang menggantikan posisi Andra, aku tidak sanggup menatap kesakitan pada wajahnya.

“Aku mendapatakan semuanya dari kalian. Kelembutan dari kamu Rita, dan ketegaran dari kamu Rifa. Dan aku takut kehilangan itu semua, aku jalani hari dengan dua cinta perempuan baik seperti kalian. Maafkan aku Rita menghianati cinta kamu, aku terlanjur jatuh cinta pada kamu juga Rifa yang selalu ada buat aku,” suara itu mengalun penuh seka.

“Kenapa kamu tidak pernah cerita soal ini Dra,” tanyaku sesal.

Dan Andra berbisik lirih.  “Maafkan aku, aku sangat menyayangi kalian. Aku tidak ingin kalian tahu dan kalian ikut menanggung sakit ini. Biarkan aku pergi, membawa cinta tulus kalian. Akan aku tunggu kalian di surga. Maafkan aku cinta,” Andra semakin lemah, darah segar menetes dari hidungnya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ku genggam erat tangannya dan kucium punggung tanganya penuh kasih. Berharap kehangatannya memberi kekekuatan pada Andra. Sementara Rita memeluk tubuh Andra kuat dan enggan ia lepaskan. Perlahan langit redup dan gelap. Andra menutup mata entah dengan senyuman atau mungkin penyesalan.  Langit menangis, Senja di ujung pantai tak lagi eksotik. Semua kelam menyakitkan. Aku dan Rita memeluk cinta yang telah pergi bersama senja.

Kosan, 30 september 2011

Time 08.31 wib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar