Terbit di harian umum koran Radar Banten, 13 November 2011
Wangi bunga itu khas sekali menyeruak ke dalam dua lubang hidungku. Wanginya tajam memenuhi ruang sempit kamar kosan baruku. Anehnya wangi bunga itu selalu muncul tengah malam, saat semua mata terlelap dalam kantuknya masing-masing. Hanya mataku yang selalu terjaga. Penyakit insomnia yang kuderita beberapa tahun belakangan ini, membawa petaka pada kehidupanku sehari-hari. Dan entah kutukan apa yang menyumpahku, sehingga penyakit ini menemani setiap pejaman mataku.
Wangi itu muncul lagi, tepat tengah malam. Dan malam ini, malam Jumat kliwon. Serentak jantungku berdetak kencang seperti hendak copot dari tempatnya. Bulu kudukku berdiri lurus 180 derajat. Pikiranku melayang kemana-mana. Mulai kacau. Tiba-tiba lampu kamarku mati. Gelap dan sangat gelap. Kepanikanku pun melebihi overdosis. Di tengah keheningan dan kegelepan malam, suara halus yang menyeramkan datang menyapaku.
“Hanaaaa, temani aku, aku kesepian.” Suara itu berulang-ulang memanggilku. Sementara mulutku terus kumat-kamit membaca jampi-jampei yang aku sendiri tidak tahu apa artinya.
“Ya Tuhan, apa salahku, kenapa makhluk menyeramkan itu selalu mengganggu malamku?” Hanya sebait doa itulah yang sedikit menenangkan debur jantungku yang tak terkendali.
Ini bukan yang pertama, makhluk halus dengan wangi bunga khas seperti melati itu mendatangiku. Entah apa yang dia inginkan dariku, aku tak tahu. Dia tidak menyakitiku, tapi selalu menerorku seperti ingin menyampaikan suatu rahasia terbesarnya kepadaku. Dan entah kenapa saat tengah malam tiba, salah satu kamar kos di samping kamarku selalu terdengar mengerek terbuka. “Krek, krek, krek.” Dan angin pun menelusup kencang menjatuhkan barang-barang yang ada di kamar itu.
Suara di kamar itu sangat gaduh, teriakan histeris suara perempuan disiksa melengking menyakitkan. Cacian dan makian terlontar dari mulut seorang lelaki bertubuh hitam legam menyaingi seribu lolongan anjing. Tangannya yang kasar mendamprat pipi halus nan ranum milik perempuan itu. Hingga ia tersungkur di pojokan ranjang yang mirip kamar pengantin. Lalu ada cairan merah di sudut mulutnya menetes pada seprei pengantin bertabur bunga melati itu bukan bunga mawar seperti kamar pengantin pada umumnya. Entah kenapa bunga melati bukan bunga mawar, sekali lagi aku tak tahu.
Perempuan itu tertunduk, menangis. Kebaya putihnya yang semrawut. Laki-laki itu cekatan menarik hiasan bunga melati pada sanggul rambutnya. Menjambaknya dan menyeretnya tanpa belas kasihan. Bunga itu tercecer di mana-mana.
Kepalanya dibanting dengan keras pada tembok berwarna putih cerah itu. Sehingga menyisakan noda merah yang kental. Ia semakin lemah tak berdaya, suaranya tercekat oleh cacian laki-laki kejam itu ia tak memberi kesempatan pada perempuan itu untuk berbicara. Aku hendak muntah menyaksikan hal itu. Dan bau amis segera menyergap ruang yang tadi bau wangi melati.
Aku ingin membantunya, tapi perempuan itu tak dapat aku sentuh. Sorot matanya menatapku penuh kesakitan, napasnya tersengal mengerikan. Air mataku mengalir deras, seperti derasnya darah yang mengalir dari kepala perempuan itu. Aku berlari meminta pertolongan orang-orang di sekitar kosanku. Aku berteriak histeris dengan napas tersengal. Tapi, orang-orang yang kulihat hanya terdiam kaku. Sorot matanya merah, wajahnya pucat pasi mengerikan. Aku tak mengerti dengan keadaanku, aku berteriak pada diriku sendiri. “Aku sudah gila, ini hanya mimpi!” aku meyakinkan diri sambil menjambak rambutku sendiri, lalu duduk mendekap kedua lututku yang gemetar hebat.
“Tapi, ini nyata, perempuan itu disiksa seperti binatang. Dan ia sempat mengucapkan sepatah kata pada diriku untuk menolongnya,” suara hatiku mengetuk kembali.
Aku pun bangkit, mengangkat kepalaku membuka mataku yang sembab oleh air mata. Seperti mendapatkan hantaman petir di siang terik, suaraku pecah menggetarkan seantero bumi yang tampak membeku. Perempuan itu mengulurkan tanganya padaku dan berbisik lirih. “Aku masih perawan,” tangannya melemah dan napasnya lerlepas dari jasadnya.
Sebilah belati mengantarkannya pada pintu kematian. Laki-laki itu nampak tersenyum puas. Dan laki-laki itu semankin beringas menyeret jasad perempuan yang baru seminggu menjadi istrinya, menuruni tiga belas anak tangga. Membawanya ke lantai bawah dan menguburnya di bawah pohon mangga yang lebat.
Pikiranku mulai stres, mataku mulai kabur. Hanya darah segar yang kulihat mengalir di setiap seretan tubuh perempuan berkebaya putih itu. Aku terkulai mataku terpejam.
***
Kokokan ayam dan wangi subuh menyapa kantukku di pagi buta. Aku terperanjat mendapati keadaanku baik-baik saja. Aku baru teringat kejadian tadi malam, begitu menakutkan dan menegangkan. Aku amati sekeliling kamar tidurku, tak ada sedikit pun bercak darah atau wangi bunga melati apalagi bau amis darah. “Mimpikah aku tadi malam?” dengusku sesak.
***
Perlahan matahari terbangun dari tidurnya, menyapa bumi yang nampak membeku. Matahari seakan mengerti keadaanku yang dingin sejak mimpi-mimpi aneh itu menghantuiku. Ia mulai mencairkan keadaanku dengan sinarnya yang hangat.
Mimpi itu mulai mengganggu aktivitasku sehari-hari. Aku nampak murung dan keningku mengerut membikin lipatan. Aku tidak bisa berdiam diri terus seperti ini. Aku harus cari tahu arti dari mimpi-mimpiku selama ini, dan aku yakin ini pasti ada sebuah rahasia yang ditutupi di kosan ini dan aku harus segera membongkarnya. Ada satu hal yang mengganjal hatiku, kenapa wanita itu mengatakan kalau dia masih perawan. Apa hubungannya dengan semua ini.
Hari ini aku berencana mencari informasi tentang wanita berkebaya putih itu dengan menanyakan pada ibu kosan yang terkesan tertutup dan tidak banyak bicara. Dengan kekuatan yang aku miliki, aku bergegas turun ke bawah untuk menemui ibu kos sebelum ia pergi dan tak terlihat lagi batang hidungnya untuk beberapa hari ke depan seperti biasanya.
Aku tak tahu ibu kos pergi kemana, yang jelas ia jarang ada di rumah. Hanya tetangga kos yang aneh dan nampak acuh selalu aku temui setiap hari. Sebelum ibu kos melangkahkan kedua kaki dan menstarter mobilnya yang tua, aku sudah berada di depan rumahnya dan mengetuk pintu yang tampak terbuka.
“Permisi Bu, boleh Hana masuk,” izinku kepada pemilik rumah, namun ibu kos tak menyaut. Aku tetap memaksa masuk meski tanpa izin. Aku mulai menelusuri rumah yang terkesan dingin dan angker itu. Satu persatu aku perhatikan, dari warna cat dinding yang mulai pudar, kamar-kamar yang sepi nampak seperti gudang, sudut-sudut ruang yang berdebu, dan foto-foto keluarga yang dipajang di ruang tengah.
Aku menyunggingkan senyum terindah di bibirku. Sebuah foto perempuan yang nampak cantik dan dipeluk mesra laki-laki berkumis tipis terlihat romantis. Aku yakin, itu foto ibu kos dengan suaminya waktu muda. “Romantis juga suami Ibu,” pikirku sambil senyum.
Aku terus memperhatikan foto-foto yang terpajang rapi, tapi anehnya aku tidak menemukan foto keluarga besar ibu dengan anak-anaknya. Belum juga hilang keherananku, mataku terbelalak dengan apa yang aku lihat. Sebuah foto pengantin berkebaya putih tengah dipeluk pasangannya.
“Foto itu, ya foto itu seperti yang ada dalam mimpiku selama ini,” teriak batinku tak tepercaya.
Aku melangkah mundur. Aku membungkam mulutku agar isak tangis tidak terdengar orang rumah. Bulu kudukku berdiri. Aku merasakan suasana yang aneh. Menyeramkan. Aku tak kuasa menatap foto itu. Ada luka di senyumnya.
Aku pun membalikkan badan. Suara halus menyapaku tiba-tiba, mengagetkanku yang sedang ketakutan. “Kamu lihat apa Nak,” tanyanya sambil menepuk pundaku. Aku pun gelagapan dibuatnya. “Aaaku tidak lihat apa-apa Bu,” jawabku terbata-bata.
“Aku cuma belum pernah lihat foto itu, Bu. Kalau boleh tahu dia siapa?” lanjutku bertanya pada Ibu kos setenang mungkin.
Ia melangkahkan kaki meninggalkanku dengan air bening di sudut matanya yang sayu. Pertanyaanku membuatnya sedih.
Aku merasa bersalah dan segera mengejarnya. “Maafkan aku, Bu.” lirihku pelan.
Ia menoleh iba padaku. “Kamu tidak usah minta maaf, kamu tidak salah apa-apa. Justru Ibulah yang minta maaf karena tidak menjawab pertanyaan kamu,” suasana pun mencair kembali.
“Ibu, aku hanya ingin tahu siapa perempuan yang di foto itu, apakah dia anak Ibu?” tanyaku kembali.
“Kenapa kamu ngotot sekali ingin tahu tentang dia,” Ibu balik bertanya.
“Karena dia selalu hadir dalam mimpi saya Bu. Dia seperti ingin menyampaikan sesuatu kepada saya,” jawabku lugas.
Aku menatap keluar rumah. Kaca depan yang sedikit tertutup gorden warna krem memperlihatkan pohon mangga yang lebat, seperti pohon mangga yang ada dalam mimpiku. Dan perempuan itu dikubur di sana.
Ibu mulai menjawab pertanyanku. Dengan tatapan kosong dan hampa ia seperti memutar kembali memorinya, mengingat kejadian yang merenggut nyawa perempuan berkebaya putih itu.
“Ia bernama Nurmala, anak angkat Ibu. Dua puluh tahun lalu Ibu dan suami mengadopsi Nurmala di panti asuhan, karena Ibu tidak akan bisa memiliki anak seumur hidup. Kanker rahim yang Ibu derita menghapus semua mimpi indah Ibu menjadi seorang Ibu. Tapi sejak hadirnya Nurmala di kehidupan kami, Ibu merasa dunia ini sangatlah indah dan berwarna. Ibu menyayanginya seperti anak kandung sendiri. Sampai ia tumbuh menjadi seorang anak yang dewasa dan cantik. Banyak laki-laki terpikat oleh kebaikan dan kecantikanya. Hingga hari bahagia itu tiba. Nurmala dipinang laki-laki pujaan hatinya. Kami pun menyetujinya. Pernikahan pun dilangsungkan. Nurmala terlihat cantik dengan gaun kebaya putih dan hiasan bunga melati disanggul rambutnya. Ia sangat menyukai bunga melati. Maka kamar pengantinnya pun ia taburi bunga melati. Ia memilih kamar pengantin di kos lantai atas di samping kamar kosan kamu. Entah kenapa dia memilih tempat itu, Ibu tidak tahu. Padahal kamar di rumah Ibu banyak yang kosong,” Ibu terus bercerita mengenang Nurmala. Ada senyum di sudut bibirnya.
Tapi Ibu nampak sedih ketika hendak melanjutkan ceritanya. Tenggorokannya seperti tercekat, membungkam vita suaranya sehingga tak mampu berkata-kata. Air matanya mengalir deras seketika, membuatku salah tingkah. Aku mencoba menenangkannya dan merangkul tubuh rentanya.
“Apa yang terjadi Bu, ceritaknlah padaku,” tawarku hangat.
“Laki-laki biadab itu membunuh anakku, dia membunuh anakku,” Ibu berteriak histeris, jatuh tersungkur dengan penyesalan yang teramat dahsyat. “Maksud Ibu apa, aku tidak mengerti. Siapa laki-laki yang tega membunuh Nurmala?” tanyaku semakin penasaran.
“Dia adalah ayahmu...”
Seperti disambar petir. Aku tak bisa berkata sepatah pun. Angin dingin berdesir menyapu tengkuk. Firasatku mengatakan, sesuatu terburuk bakal terjadi. Nyawaku seperti tercabut saat tiba-tiba ibu kos menatap tajam. Sepasang matanya berkilat-kilat. Aku tidak lagi melihat itu adalah sepasang matanya, tapi sepasang mata milik wanita berkebaya putih.
(*)
Nurhana Yatziano adalah penulis Gilalova 4 # Kado untuk Ratu. Ini adalah cerpen perdana yang dimuat di Radar Banten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar