Selasa, 07 Agustus 2012

AKU

 Terbit dalam antologi kumpulan cerpen "Kenapa Harus I Love U" bareng anak FLP Serang

“Pakupatan, Pakupatan, Serang, Serang,” suara kenek melengking nyaring membuyarkan seluruh penumpang yang sedang tertidur pulas. Dengan kantuk yang masih tertahan semua orang berhamburan keluar meninggalkan mobil jurusan Bayah-Serang. Begitu pula aku, dengan sedikit sempoyongan bergegas mengikuti jejak penumpang lainnya. “Ciceri, Neng?” tanya supir angkot. “Iyah Pak, kampus IAIN yah,” jawabku sambil masuk ke dalam angkot berwarna biru tanpa basa basi. Hatiku bergemuruh di sepanjang jalan, Bayah-Serang membuat aku menitikan air mata. Lelah perjalanan selama lima jam yang aku tempuh, terbayar saat angkot berhenti tepat di gedung berwarna jingga.

 “Huh,” aku menarik nafas dalam-dalam setelah mengeluarkan uang pecahan dua ribu rupiah membayar ongkos angkot. Aku terhenyak bagai bangun dari buaian mimpi. Sebuah kalimat terpampang jelas di sebuah baliho berukuran besar. “Selamat datang kepada calon mahasiswa baru di kampus IAIN SMH Banten,” kalimat ini tertulis dengan tinta warna jingga mencolok. Aku hanya tertegun. “Aku sampai di kota, Mak. Aku sampai di tempat yang beberapa tahun ini akan menjadi tempat untuk belajar dan menuntut ilmu. Tempat yang akan memisahkan kita sampai aku mendapat gelar sarjana,” desisku dengan nafas yang memburu. Ada sesak menjalar disekujur tubuhku. “Aku pasti bisa, Pak. Aku pasti berhasil,” doaku lirih seraya mengucap lapadz Basmallah. Aku langkahkan kaki masuk ke dalam kampus. Aku segera berbaur dengan calon mahasiswa lainnya. ini hari pertama aku mengikuti tes hingga dua hari kedepan. 

**** 

“Nufus Sukaryo, lulus di fakultas ushuludin dan dakwah, jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam,” papan informasi itu di kerubuti banyak mahasiswa dan namaku tercantum diantara ribuan mahasiswa lainnya. Aku sujud syukur, tetesan bening menetes mengalir deras diujung bola mataku. “Ini saatnya aku menjalankan amat kedua orangtuaku, belajar yang giat dan rajin hingga kelak kesuksesan akan aku persembahkan pada mereka yang mungkin sudah renta” semangatku dalam hati yang menggebu 

***

Tahun-tahun pertama, kuliahku lancar dan aku aktif di berbagai organisasi. Mulai dari organisasi freemordial hingga unit kegiatan mahasiswa. Banyak ilmu yang aku dapatakan di luar sana ketimbang duduk manis di bangku kuliah mendengarkan ceramah para dosen yang kadang hanya terpaku dengan silabus mata kuliah yang tidak dimengerti. Kadang aku merasa bersalah kepada orangtuaku, sering kabur dari bangku kuliah dan memilih kuliah sendiri dengan duduk dipojokan ruang sepi tanpa banyak penghuni. Memilih buku sesuka hati dan membaca penuh kekhusuan hingga lupa waktu dan berkali penjangga perpustakaan mengingatkanku waktu kunjungan sudah habis. “Andai saja ada perpus buka 24 jam, aku pasti betah sehari semalam di ruang ini,” Dengan dengusan kesal dan gerutuan tanpa makna dan entah kutunjukan pada siapa, aku melengos begitu saja. 

***

Malam tanpa bintang dan nyanyian jangkrik. Aku tertunduk lesu dengan muka penuh rindu. Kutatap lekat wajah lusuh Bapak dan emak ditengah sepetak sawah dalam bingkai foto. Bayangku kembali mengembara pada waktu dimana aku masih kecil dan penuh mimpi. Dengan rayu manja dan belai lembut tangan bapak yang meski terasa kasar. Aku mengutarakan citaku menjadi seorang wartawati dengan menuntut ilmu diperguruan tinggi negeri. Bapak hanya tersenyum kecut, beban berat begitu menggelayut dibenaknya. “Adakah cita-citamu yang lain, Nak,” bapak bertanya dengan sangat hati-hati. “Tidak Pak, aku hanya ingin jadi wartawati biar aku bisa mengabarkan informasi pada semua orang tentang apa pun, biar aku bisa menulis jeritan hati rakyat kecil yang menuntut keadilan seperti kita. Aku hanya ingin menulis dengan kejujuran tanpa kebohongan, Pak, sehingga tidak ada lagi yang ditutup-tutupi seperti kematian Teh Sarah yang dikabarkan media hanya karena kecelakaan biasa,” kataku panjang lebar tanpa jeda. Ada luka tercekat diwajah Bapak dan Emak ketika kubuka kembali lembaran pahit tentang kematian Teh Sarah. Tetehku satu-satunya ini menjadi korban kekerasan majikan di luar negeri sana. Pemerintah tidak memberikan kepastian yang jelas tentang sebab kematian the sarah, media hanya menuliskan sekedarnya tentang pemberitaan kematian tetehku yang hanya diduga karena kecelekaan. Aku tidak mengerti kenapa tidak ada kejelasan seperti ini, kenapa semua menjadi keruh, aku tidak mengerti, dan takan pernah kumengerti. “Pergilah Nak, raih citamu setinggi mungkin. Bawalah uang ini, uang hasil penjualan sepetak sawah yang dulu bapak beli hasil dari gaji tetehmu. Bapak yakin, tetehmu pun setuju jika sawah ini dijual untuk bekalmu menuntut ilmu dan kelak kamu bisa menuliskan tentang jerit tangis rakyat kecil yang juga bernasib sama seperti 

kita,” kata Bapak melepas kepergianku menuju kota Serang dengan cucuran air mata. 

****

Empat tahun berlalu begitu lambat bagiku, terlebih selama ini aku belum pernah bertemu dengan kedua orangtuaku. Aku sudah berjanji tak akan menemui mereka hingga aku bergelar sarjana. Namun hari ini kerinduanku akan segera terobati, gelar sarjana akan aku raih tinggal menunggu beberapa jam. Ada senyum bangga terkembang dari bibirku yang mulai bergetar menahan air mata. Berkali kulirik jam tangan yang serasa melambat, Aula utama bernama gedung Prof. K.H Sjadeli Hasan sudah sesak dengan haru tangis keluarga yang menyaksikan anaknya memakai toga. Aku hanya berdiri tegang, kenapa kedua orangtuaku tak kunjung datang. Apa yang terjadi, sebentar lagi giliranku. Aku ingin menangis sejadinya, hingga acara selesai dan hanya menyisakan bangku kosong berantakan. “Orangtuaku tak datang,” aku terduduk lemah dengan memeluk bunga pemberian teman-teman. “Berdirilah, tugasmu selesai. Kamu sudah membuat bangga kedua orangtuamu gelar sarjana dan pekerjaan di media cetak ternama sudah kamu dapatkan. Marilah kita pulang temui kedua orangtuamu,” suara lembut sosok laki-laki yang tidak asing bagiku menyapa dan memapahku masuk ke mobilnya. “Kenapa Bapak dan Emak tidak kamu bawa Mas, bukankah sudah kukabarkan aku di wisuda hari ini” tanyaku pada laki-laki yang kelak ku harap menjadi imamku. “sudahlah, nanti juga kamu tahu,” jawab Mas Adit tenang. Dan aku kembali menikmati perjalanan pulang ke kampung halaman. Deburan ombak, asinnya air laut, pesawahan dan perkebunan karet, menyambutku dengan riang. Aku sudah tak tahan ingin memeluk kedua oarngtuaku.

 ***

 Namun, tak ada Bapak dan Emak yang datang menyambutku. hanya keriuhan, tangisan, dan alunan ayat-ayat suci al-quran yang bersenandung memenuhi rumah sempit bertembok bilik. “Ada apa ini,” pirasatku buruk. “Arus ombak yang pasang menyeret bapak dan Emakmu saat mereka menjala ikan untuk makan, karena tak ada uang untuk membeli lauk. Di pantai Pulomanuk inilah kedua orangtuamu tenggelam dan nyawanya tak tertolong. Bersabarlah Nak, Bapak dan Emakmu sudah tenang dialamnya. Ikhlaskan saja.,” cerita tetua dikampungku dengan mengelus lembut kepalaku. Di atas gundukan tanah merah aku menangis sejadinya, aku memeluk Bapak dan Emak di alam, tempat dan waktu yang berbeda. Kuletakan togaku diatas pusara kedua orangtuaku. Hingga hujan turun tanpa guntur, aku masih memluk gundukan tanah merah itu. Aku tak mau berlalu dan hidupku serasa tak bernyawa. 

@Nurhana yatziano mahasiswi KPI semester IV yang terus mencoba belajar menulis 

 22 Mei 2012,

1 komentar: