Sabtu, 20 April 2013

Mereka Butuh Perhatian Khusus

SLB MAdina, Kota Serang, sedang membuat kerajinan tangan.
Sekilas tampak seperti tidak ada yang beda dari anak-anak ini. Senyum yang lebar dan keceriaan tanpa beban tergambar jelas dari raut wajah mereka saat bermain bersama di halaman sekolah luar biasa (SLB) Bayangkara, Kota Serang

    Mereka seperti ingin bercerita pada dunia, bahwa mereka juga punya kehidupan normal yang sama  seperti anak kebanyakan di luar sana. Bisa melakukan hal ini dan itu, belajar ini dan itu, hanya saja mereka terpisahkan dengan sebutan anak autis yang kadang membuat orang segan untuk mendekatinya atau bahkan sama sekali tidak mau berteman dengan mereka.
        Di sinilah, di SLB, anak-anak luar biasa ini saling berbagi, melengkapi, dan mengsisi satu sama lain sehingga mereka merasa tidak kesepian dan memiliki teman. Meski terkadang tetap saja, ketika harus kembali keluar sana kadang berhadapan dengan cemoohan bahkan ejekan yang  harus diterima yang  membuat hati mereka sakit dan minder untuk bergabung dengan ank-anak normal.
        Ditemui di sela-sela jam istirahat, gadis cilik siswi kelas I SMP, SLB Bhayangkara, Kota Serang, Devi Okataviana, dengan uluran tangan yang ramah dan senyum terbuka mencurahkan isi hatinya pada Radar Banten, Rabu (11/4). Devi mengungkapkan, penyakit yang dideritanya yakni tunagrahita tidak menjadikannya merasa anak yang terbelakang. Justru sebaliknya hal ini menjadi kekuatan dan dorongan untuk menunjukkan bahwa ia mampu bersaing dengan anak-anak normal lainnya.
        “Aku merasa biasa-biasa saja, tidak ada yang aneh pada diriku. Aku suka melakukan banyak hal dan aku punya cita-cita yang tinggi yaitu menjadi dokter,” ungkap gadis penyuka buku cerita ini.
        Devi mengakui, meski hatinya ingin sekolah di lembaga formal, tapi harus berpikir dua kali untuk melakukan itu. Hal ini disebabkan anak-anak normal yang kurang menerima mereka, sehingga membuat sulit untuk bergabung dengan lingkungan berbeda dengan keadaan dirinya.
        “Aku ingin seperti anak yang lain, hidupnya bebas tanpa diejek atau diolok-olok. Tapi, aku terima semua ini dan aku merasa tidak sendirian ada mama dan keluargaku yang selalu menguatkanku. Di sekolah pun dari SD hingga SMP aku sekolah di SLB ini, aku merasa nyaman dan aman. Di sini aku juga punya teman banyak  dan kita saling menyayangi,” tuturnya dengan isak yang ditahan.
        Devi merupakan salah stau anak luar biasa dari sekian banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang perlu perhatian lebih, dorongan semangat dan motivasi untuk berkembang. Di sini peran orangtua sangat diperlukan, bagiamana orangtua harus bisa meyakinkan dan memapah mereka untuk bisa berdiri, menjalani hari-hari mereka tanpa berpikir mereka kekurangan suatu apa pun.
        Untuk itu Rupi'ah, salah satu orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus asal Lopang Kecil, Kota Serang ini, teramat sayang terhadap putrinya yang dikenal dengan muka kembar sedunia dan menderita tunarungu. Bagi Rupi'ah, dengan memutuskan memasukkan anaknya masuk sekolah luar biasa adalah hal tepat. Menurutnya, dengan demikian putrinya memiliki kehidupan yang berwarna dengan bisa bersosilaisa dan berinteraksi dengan orang luar.
        “Mereka ini juga sama manusia yang harus kita perlakukan dengan kasih sayang dan cinta. Hati saya merasa sedih tapi saya yakin ini ujian dari Allah dan  anak saya ini anak yang luar biasa. Tinggal bagaimana kita memberi semangat, mengurusnya dengan sabar dan telaten. Mengarahkan anak untuk mengikuti segala macam kegiatan yang bisa mereka ikuti dan saya ajak kemana-mana. Saya selalu menguatkan mental anak saya, meski kadang merasa cape sendiri karena anak suka  malas untuk berbuat apa-apa. Tapi, saya yakin kesabaran saya akan membuat anak saya bisa berkembang dan maju,” ucap ibu ini dengan raut wajah sendu.
        Rupi'ah menuturkan, salah stau faktor yang menyebabakan adanya kelainan pada anaknya yakni di sebabkan karena stres. Rupiah menjelaskan, untuk para ibu jangan sampai pada masa-masa kehamilan dibawa beban, hal ini akan berdampak buruk pada calon bayi.
        “Dulu saya sempat stres, sehingga tidak menyadari kalau hal ini mengakibatkan cacat pada anak saya,” ungkapnya.


Mereka Sama

SLB Bahari, Labuan, Pandeglang.
Lantas apa pendapat masyarakat mengenai bagaimana pola pengasuhan yang baik untuk anak autis. Sejatinya, 2 April yang menjadi hari autis sedunia menjadikan masyarakat sadar, tidak boleh menganaktirikan anak-anak berkubutuhan khusus atau autis ini. Eva Fajriati mengatakan, sebaiknya orangtua tidak boleh merasa malu dan takut bila anaknya mengalami autis.
        “Mereka juga kan sama seperti anak lainnya. Orangtua harus lebih aktif mencari berbagai informasi yang mendukung pertumbuhan anak autis karena yang saya tahu anak autis itu mengalami gangguan pertumbuhan di otak yang menyebabkan anak kesulitan berinteraksi, kadang emosinya juga labil, gangguan sensorik dan motoriknya terhambat sehingga perkembangannya terlambat atau tidak normal,” ujar wanita yang berprofesi sebagai guru SD di Pandeglang ini.
        Ia juga menjelaskan, orangtua jangan terlalu banyak memarahi jika anak melakukan kesalahan. “Mereka berprilaku seperti itu mungkin untuk mencari perhatian sekitar. Ketika anak mulai belajar di sekolah juga pastikan pihak sekolah mengetahui keadaan anak agar mereka bisa mempersiapkan segalanya dengan lebih baik. Misalnya menciptakan lingkungan yang sesuai untuk anak autis,” tuturnya.
        Yudi Apriatna, PNS di Pandeglang, mengatakan, anak autis tidak boleh dipandang sebelah mata. “Menurut saya mereka harus diperlakukan seperti anak yang lainnya. Membutuhkan kesabaran dan pengertian yang lebih. Gali juga bakat-bakat serta potensi-potensi yang ada. Karena anak autis juga memiliki kelebihannya masing-masing. Bukan tidak mungkin mereka dapat menjadi orang yang berhasil jika dididik dengan baik oleh orangtua dan lingkungan yang baik,” jelasnya.
        Ia juga mengatakan, jika anak diduga mengalami autis harus segera diperiksa ke dokter ahli. “Sehingga orangtua bisa mengetahui cara dan metode apa yang harus  dilakukan agar pertumbuhan anak dapat maksimal. Anak juga harus sering diajak berinteraksi,” ujarnya.
        Fatihatun Rosihah, dosen Bimbingan Anak Berkebutuhan Husus (BABK) UPI Kampus Serang mengatakan, anak yang memiliki keterbelakangan mental, autis atau semacamnya itu harus diperlakukan istimewa. “Dari sebutannya saja anak berkebutuhan khusus jadi biasanya mereka lebih memerlukan perhatian yang lebih. Dalam hal Intelegent Question (IQ) mereka memang lebih rendah jika dibandingkan dengan kita yang normal, akan tetapi meskipun begitu ketika kita bisa mengatasi dan membimbingnya dengan baik banyak juga diantara mereka yang berhasil dalam bidang seni atau hal lainnya,” katanya.
        Kata dia, ada juga hal unik pada anak berkebutuhan khusus yang sering disebut debil. “Biasanya anak tersebut akan cepat tanggap jika diberi perintah oleh orang terdekatnya. Hal tepenting yang harus diperhatikan dari semua jenis anak berkebutuhan khusus ialah kita tidak boleh memandang rendah dan harus lebih memperhatikan mereka,” tutupnya.

Hak yang Sama

Anak penyandang autis adalah bagian dari anak Indonesia. Mereka punya hak yang sama dengan anak normal lainnya. Untuk itu, peringatan hari autis sedunia yang diperingati setiap 2 April ini dapat menjadi momentum yang pas agar meningkatkan kesadaran masyarakat tentang autisme.
Fakta membuktikan, autisme bukanlah sesuatu hal yang baru. Secara medis, autisme merupakan gangguan perkembangan yang kompleks. Gangguan tersebut meliputi perbedaan dan ketidakmampuan dalam berbagai bidang. Misalnya dalam kemampuan komunikasi sosial, kemampuan motorik kasar, motorik halus, serta tidak mampu berinteraksi sosial. Sehingga seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri.
Data anak yang menderita autis di berbagai negara menunjukkan angka bervariasi. Unesco pada 2011 melaporkan, tercatat 35 juta orang penyandang autisme di seluruh dunia. Sementara di Asia, pada penelitian Hongkong Study 2008, tingkat kejadian autisme dengan prevalensi 1,68 per 1.000 untuk anak di bawah 15 tahun.
Menurut Chika Detrias, mahasiswa semester IV jurusan Perpajakan Untirta, anak penyandang autis pantas diperlakukan layaknya anak normal lain. “Autisme itu bukan penyakit, tapi yang jelas orang penyandang autisme itu sama seperti kita. Dan kita sebagai orang yang bisa dibilang jauh lebih beruntung dibanding mereka, tidak boleh membeda-bedaknya. Mereka juga butuh perhatian dan kasih sayang dari kita,” ungkap Chika.
Chika menambahkan, dalam berkomunikasi dengan orang penyandang autis kita harus meningkatkan kesabaran. “Sebenarnya saya tidak memiliki keluarga yang menyandang autis, tetapi dilingkungan rumah saya ada anak yang menyandang autis. Dalam berkomunikasi dengannya kita harus sabar. Disamping itu, saya bersyukur pada Tuhan karena saya bisa terlahir dengan normal. Tetapi tetap saja, sebagai manusia normal kita harus tetap memperlakukan anak penyandang autis layaknya anak normal lain,” tambah Chika asal Tangerang.
Fhani Mauliani, ibu rumah tangga asal Pandeglang ikut membenarkan Chika. “Secara medis saya tidak tahu autis ini semcam penyakit atau bukan, tetapi yang jelas autism ini merupakan kelebihan yang diberikan Tuhan. Dan pada dasarnya semua perilaku anak penyandang autis ini tidak ada yang tanpa sebab. Untuk itu, tinggal bagaimana kita menanggapi perilaku autis tersebut,” ungkap Fhani.
        Pembelajaran terhadap anak autis harus dilakukan secara khusus, mengingat peningkatan jumlah anak berkesulitan belajar, terutama penyandang autisme. Sampai saat ini belum adanya upaya yang sistimatis untuk menanggulangi kesulitan belajar anak autisme, maka diperlukan upaya untuk meningkatkan pelayanan pendidikan secara umum. Peningkatan pelayanan pendidikan itu diharapkan dapat menampung anak autisme lebih banyak serta meminimalkan problem belajar terutama pada anak-anak autisme (learning problem).
     Anak autis (berkebutuhan khusus) tidak peka untuk bersosialisasi, dikarenakan anak tersebut mengalami kelainan, baik dalam hal genetik atau saraf. Peran guru dan waktu pembelajaran sangat mempengaruhi perkembangan anak autis tersebut. Anak autis dengan anak biasa dalam hal perlakuanh harus dibedakan, dan tidak heran banyak kendala-kendala yang di alami guru dalam hal mendidik dan mengajar anak autis.
    Mursilawati, guru Sekolah khusus (SKh) Bahari, Labuan, Pandeglang mengungkapkan, guru harus benar-benar aktif dankreatif dalam hal kegiatan belajar mengajar (KBM), setidaknya guru harus mampu menggali kemampuan anakautis. “Pada anak autis ada sistem motorik yang terputus, apabila diterapi sejak dini, ada kemungkinan anak tersebut kembali normal atau minimal skill-nya muncul. Untuk kendala, mungkin dari alat-alat KBM masih kurang lengkap, karena anak autis cenderung aktif dan cepat bosan, sehingga KBM tidak boleh monoton,” tuturnya
     Ia menambahkam, seorang guru juga tidak diperkenankan memaksa kehendak anak. “Biarkan anak bergerak bebas selama tidak membahayakan dirinya dan teman-tema

SLB Bhayangkara, Kota Serang, sedang menikmati waktu istirahat.

nnya, tetapi tingkah lakunya harus diarahkan dan diperhatikan. Apabila kita kasar dalam hal mendidik, kemungkinan anak autis akan mengikutinya,” tambahnya.
     Meskipun pemerintah sangat menganjurkan untuk membedakan tempat pendidikan anak autis dan normal, tapi tidak demikian untuk Nining Rohimah, salah satu staff pengajar di TK Insan Cendekia yang mengaku mempunyai beberapa siswa yang autis.
      Nining menuturkan, apabila dilakukan dengan bertahap, meskipun disatukan dengan anak normal, perkembangan psikologis anak autis tersebut malah akan baik. “Asalkan dilakukan secara rutin dan dengan therapi dan pendekatan tertentu, agar pembiasaan dan sosialisi anak terbangun. Selain itu bimbingan secara khusus harus dilakukan dan teratur, karena anak autis sangat membutuhkan perhatian khusus dibanding anak biasa,” ungkap Kepala TK Insan Cendekia, Walantaka, Serang ini.
      Ia menambahkan, dalam hal ini pendidikan pembiasaan dan pengarahan khusus tidak terlepas dari kegiatan pembelajaran. “Awalnya siswa autis tersebut cenderung pendiam dan susah bergaul. Justru dengan melihat anak normal, anak autis tersebut dapat bermain dengan aktif, meskipun membutuhkan waktu yang relatif lama. Alhamdulilah anak autis yang tadinya pasif, secara perlahan dapat spontan berbicara, mengenal warna, dan bergerak khusus. Meskipun dalam hal ini faktor afektif (sikap) lebih maju dibanding faktor pengetahuannya (kognitif),” pungkas wanita yang tinggal di komplek taman Pipitan, Walantaka, Kota Serang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar