BERLAYARLAH SUARA HATIKU
Di ruang apa pun ‘Cinta itu Kita’ aku dan kamu.
Cinta yang tak akan memberikan ruang untuk hati mana pun.
Ditempat ini, di ruang ini ‘14 Mei
2011’ awal cerita itu tercipta. Senyum itu, mata itu, lelaki itu, tak pernah
kusangka akan hadir begitu kuat dalam kehidupanku. Bukan inginku bukan pula
rencanaku ada dalam ruang ini. Bahkan hadirnya pun tak pernah singgah dalam
mimpiku. Lalu ini salahku mengenal ruang ini??? Atau salah waktu yang
membiarkanku berjalan sendirian menuju ruang yang mencipta luka juga cinta
ini???
ENTAHLAH.........
Yang jelas seperti pusaran angin,
kehidupan menyeretku dalam ruang yang mencipta lagu sendu tentang cinta. Sekali
lagi tentang cinta yang kelak akan meninggalkan cerita bahwa ‘aku yang merebut
milik orang lain’.
Tak mengapa, biarlah. Biar waktu yang
akan menunjukan semua kenyataan. Dengan begitu, mungkin hati takan pernah lagi
keliru menyangka cinta yang sedang aku milik sekarang adalah cinta milik perempuan
itu yang dipikirnya telah aku reebut.
Telah aku tegaskan pada angin yang
meliuk atau ombak yang mendebur. Cintalah yang menuntunku berjalan ke arahnya. Lalu
dalam waktu yang bersamaan lahir cerita lain dalam ruang yang sama. Cerita yang meminjamkan luka di hatiku dan dihatinya.
Bahkan juga memenjarakan lelaki sang pemberi cinta.
Baiklah, tak ingin aku berlarut mengenang
cerita hitam yang melemahkan hatiku. Cerita yang kadang membungkamku untuk
diam-diam menelan bulat rasa perih sendirian. Cerita yang menari dalam pekat dengan gemercik hujan air mata pada
malam-malamku.
Haii, ini sudah berlalu. Sudah saatnya
masing-masing kita hidup bahagia dengan cerita lain.
Tapi tanpa ijin siapa pun. Malam ini,
dengan hujan sahabtku. Dalam ruang
pengap ini, biarkan sekali lagi aku menangis sendiri. Menangis mengenang masa
lalu suram yang pernah tertoreh dalam sejarah hidupku.
Biarkan aku bercengkrama dengan
kegetiran yang pernah mengahantui hari-hariku. Dan kenangan itu, seperti film
yang di putar di bioskop dan di tonton jutaan pasang mata. Semua slide masa
lalu merongrong di memoriku. Lantas
tergambar lakon cerita yang seakaan aku lah peran ketiga yang menyebalkan,
menjijikan, patut di hujat lalu dihina habis-habisan, lalu mulut-mulut penonton
menyumapah serapah dan mengganggapku sampah. Bahkan untuk di daur ulangpun tak
ada manfaatnya.
Beda halnya dengan dia yang melakonkan peran
utama yang seakan mencipta lakon tanpa salah dan selalu disakiti. Banyak yang
memuja, ikut menangis, ikut tertawa bahagia bersamanya. Mendukungnya dan mengidolakannya karena kebaikan hati dan
kebijaksanaannya.
Tanpa penonton pahami dibalik layar
justru aku yang tersakiti, tersudutkan, dengan monolog pahit yang tak pernah
aku inginkan hadir dramanya. Sekenario yang seakan dipaksa harus aku jalankan
diatas perihnya hati yang tersayat luka.
Hati ini sempat mencipta kebohongan,
kemunafikan, kebencian juga keputusasaan. Air mata, kegilaan, keogoan berbaur
satu dalam ruang bernama cinta segitiga. Cinta segitiga yang orang bilang akulah
orang ketiganya.
Tidak, aku tidak merebutnya dari cinta milik
siapa pun. Cinta itu hadir sendiri menyapa hatiku juga hati lelaki itu. Cinta
itu sendiri yang menawarkan diri untuk
aku rawat dan aku simpan di hatiku. Sungguh, aku tak hendak membersihkan
namaku, aku tak hendak membela diri di meja pengadilan cinta. Tidak, tidak
untuk apa pun. Aku hanya ingin membebaskan pikiranku dari jerat penerima cinta
kedua.
Harus dengan apalagi kuteriakan cinta
ini, agar siapa pun memahami. Cinta itu hadir diam-diam saat kebersamaan dan
kebiasaan merajai hari aku dengan lelaki itu. Saat tubuh terdiam dan hanya mata
hati yang saling bicara. Lalu pelan-pelan saling meresapi dan memiliki meski
kabut tebal menghalangi. Aku memilih diam dalam perih hingga akhirnya cinta itu
kembali datang menyapa dan memilihku untuk merawatnya.
Maka ku
kirim suara hati ini,
Kepada
KARANG yang mengajarkanku untuk kuat dan tegar ketika ombak datang menerjang. Begitu aku berkaca padanya, dengan
lirih aku meresapi gelombang kehidupanku yang radiusnya pun siap mematikanku.
Maka aku segera berdiri tegak dengan keyakinan aku sanggup melawan dalam
ketiadaberdayaan.
Kepada HUJAN yang tanpa pamrih
menemaniku menuangkan airmata kesakitan. Lalu meramunya menjadi lautan kekuatan.
Kepada TINTA yang tak pernah kering dan
lelah menuliskan setiap bait cerita ini hingga ending.
Kepada SENJA yang menuntunku untuk
bertahan dalam penantian panjang. Hingga rona mega tenggelam ditelam malam.
Hingga burung hantu menjerit menusuk malam yang berkabut.
Dan kepada LELAKI itu, pertemuan ini,
perjalanan pahit dan manis yang telah kita lewati. Tangan ini telah kau genggam
erat dan kau ajak aku melangkah meninggalkan luka.
Maka kulepas semua pahit juga
kegetiran. Berlayarlah suara hati ini hingga lambat laun ombak membawanya tenggelam ke dasar lautan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar