Senin, 15 April 2013

BERLAYARLAH SUARA HATIKU



Di ruang apa pun ‘Cinta itu Kita’ aku dan kamu.

Cinta yang tak akan memberikan ruang untuk hati mana pun.

 

Ditempat ini, di ruang ini ‘14 Mei 2011’ awal cerita itu tercipta. Senyum itu, mata itu, lelaki itu, tak pernah kusangka akan hadir begitu kuat dalam kehidupanku. Bukan inginku bukan pula rencanaku ada dalam ruang ini. Bahkan hadirnya pun tak pernah singgah dalam mimpiku. Lalu ini salahku mengenal ruang ini??? Atau salah waktu yang membiarkanku berjalan sendirian menuju ruang yang mencipta luka juga cinta ini???

ENTAHLAH.........

Yang jelas seperti pusaran angin, kehidupan menyeretku dalam ruang yang mencipta lagu sendu tentang cinta. Sekali lagi tentang cinta yang kelak akan meninggalkan cerita bahwa ‘aku yang merebut milik orang lain’.

Tak mengapa, biarlah. Biar waktu yang akan menunjukan semua kenyataan. Dengan begitu, mungkin hati takan pernah lagi keliru menyangka cinta yang sedang aku  milik sekarang adalah cinta milik perempuan itu yang dipikirnya telah aku reebut.

Telah aku tegaskan pada angin yang meliuk atau ombak yang mendebur. Cintalah yang menuntunku berjalan ke arahnya. Lalu dalam waktu yang bersamaan lahir cerita lain dalam ruang yang sama. Cerita  yang meminjamkan luka di hatiku dan dihatinya. Bahkan  juga  memenjarakan lelaki sang pemberi cinta.

Baiklah, tak ingin aku berlarut mengenang cerita hitam yang melemahkan hatiku. Cerita yang kadang membungkamku untuk diam-diam menelan bulat rasa perih sendirian. Cerita yang menari dalam  pekat dengan gemercik hujan air mata pada malam-malamku.

Haii, ini sudah berlalu. Sudah saatnya masing-masing kita hidup bahagia dengan cerita lain.

Tapi tanpa ijin siapa pun. Malam ini, dengan hujan sahabtku. Dalam  ruang pengap ini, biarkan sekali lagi aku menangis sendiri. Menangis mengenang masa lalu suram yang pernah tertoreh dalam sejarah hidupku.

Biarkan aku bercengkrama dengan kegetiran yang pernah mengahantui hari-hariku. Dan kenangan itu, seperti film yang di putar di bioskop dan di tonton jutaan pasang mata. Semua slide masa lalu  merongrong di memoriku. Lantas tergambar lakon cerita yang seakaan aku lah peran ketiga yang menyebalkan, menjijikan, patut di hujat lalu dihina habis-habisan, lalu mulut-mulut penonton menyumapah serapah dan mengganggapku sampah. Bahkan untuk di daur ulangpun tak ada manfaatnya.

Beda halnya dengan dia yang melakonkan peran utama yang seakan mencipta lakon tanpa salah dan selalu disakiti. Banyak yang memuja, ikut menangis, ikut tertawa bahagia bersamanya. Mendukungnya  dan mengidolakannya karena kebaikan hati dan kebijaksanaannya.

Tanpa penonton pahami dibalik layar justru aku yang tersakiti, tersudutkan, dengan monolog pahit yang tak pernah aku inginkan hadir dramanya. Sekenario yang seakan dipaksa harus aku jalankan diatas perihnya hati yang tersayat luka.

Hati ini sempat mencipta kebohongan, kemunafikan, kebencian juga keputusasaan. Air mata, kegilaan, keogoan berbaur satu dalam ruang bernama cinta segitiga. Cinta segitiga yang orang bilang akulah orang ketiganya.

Tidak, aku tidak merebutnya dari cinta milik siapa pun. Cinta itu hadir sendiri menyapa hatiku juga hati lelaki itu. Cinta itu sendiri yang menawarkan diri  untuk aku rawat dan aku simpan di hatiku. Sungguh, aku tak hendak membersihkan namaku, aku tak hendak membela diri di meja pengadilan cinta. Tidak, tidak untuk apa pun. Aku hanya ingin membebaskan pikiranku dari jerat penerima cinta kedua.

Harus dengan apalagi kuteriakan cinta ini, agar siapa pun memahami. Cinta itu hadir diam-diam saat kebersamaan dan kebiasaan merajai hari aku dengan lelaki itu. Saat tubuh terdiam dan hanya mata hati yang saling bicara. Lalu pelan-pelan saling meresapi dan memiliki meski kabut tebal menghalangi. Aku memilih diam dalam perih hingga akhirnya cinta itu kembali datang menyapa dan memilihku untuk merawatnya.

Maka ku kirim suara hati  ini,

Kepada KARANG yang mengajarkanku untuk kuat dan tegar ketika ombak datang  menerjang. Begitu aku berkaca padanya, dengan lirih aku meresapi gelombang kehidupanku yang radiusnya pun siap mematikanku. Maka aku segera berdiri tegak dengan keyakinan aku sanggup melawan dalam ketiadaberdayaan.

Kepada HUJAN yang tanpa pamrih menemaniku menuangkan airmata kesakitan. Lalu meramunya menjadi lautan kekuatan.

Kepada TINTA yang tak pernah kering dan  lelah menuliskan setiap bait  cerita ini hingga ending.

Kepada SENJA yang menuntunku untuk bertahan dalam penantian panjang. Hingga rona mega tenggelam ditelam malam. Hingga burung hantu menjerit menusuk malam yang berkabut.

Dan kepada LELAKI itu, pertemuan ini, perjalanan pahit dan manis yang telah kita lewati. Tangan ini telah kau genggam erat dan kau ajak aku melangkah meninggalkan luka.

Maka kulepas semua pahit juga kegetiran. Berlayarlah suara hati ini hingga lambat laun ombak membawanya  tenggelam ke dasar lautan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar