Sabtu, 29 September 2012

Resensi Buku Jurnalistik

Judul Buku   :   Analisis Wacana ( Pengantar    Analisis Teks Media)

Penulis               :    Eriyanto

Jumlah Halaman :    371 Halaman

Terbit                 :   Cetakan Pertama 2011

                             Cetakan Kedua  2012

Penerbit             :  LKiS

 

 

 

 

Memaknai Isi Teks Media Melalui Analisis Wacana 

Dewasa ini dunia media informasi dan komunikasi luar biasa tumbuh melimpah ruah. Hal ini tentu berkaitan dengan makin banyak, beragam, dan canggihnya industry media informasi dan komunikasi, mulai cetak hingga elektronik, menawarkan berita, dan sensasi. Di sisi lain, kita juga menyaksikan kebebasan yang dimiliki oleh penggiat media dalam berbagai pemberitaannya, beriring dengan gagasan reformasi dan demokrasi politik setelah tumbangnya rezim lama. Berita-berita ekonomi,  budaya, social, politik berhamburan dan menyerbu hampir setiap menit; gossip, humor, intrik para selebritis gencar menuntut perhatian. 

Tentu saja pemberitaan-pemberitaan ini hadir dengan teks berita yang kadang membuat kita bingung memaknai isi pesan yang disampaikan. Tak jarang kita di buat kaget oleh kemunculan sebuah berita yang tampak tiba-tiba, asing, dan berani. Hal ini bisa membuat kita pusing jika di biarkan begitu saja, butuh filterisasi dan menelisik lebih jauh bagaimana dan mengapa berita-berita itu dihadirkan. Dengan begitu kita akan segera tahu bahwa terdapat motif-motif politik ideologis tertentu yang tersembunyi di balik teks-teks berita tersebut. Secara sederhana, cara membaca lebih mendalam dan jauh ini disebut sebagai analisis wacana.  

Analisis wacana merupakan salah satu alternatif terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam analisis media yang selama ini lebih di dominasi oleh analisis isi konvensional dengan pradigma positif atau konstruktivisnya. Jika yang kedua ini terpancang pada pertanyaan “apa” maka analisis wacana jauh lebih jauh pada “bagaimana” dari sebuah pesan atau teks komunikasi.

Maka buku karangan  Eriyanto  setebal 371 halaman yang berisikan metodologis dan teoritis ke analisisian wacana ini  bagus untuk dipelajarai. Isi buku dilengkapi dengan contoh teks berita yang memberikan gambaran dengan gamblang pada kita untuk mengetahui maksud-maksud teks berita yang disuguhkan. Secara umum buku ini juga membahas mengenai analisis wacana dan penerapannya dalam studi analisis isi media. Di jelaskan pula konsep penting analisis wacana, tokoh, dan pendekatan yang dipakai serta penerapannya dalam contoh kasus analisis berita.

Selain itu buku analisis wacana tidak hanya menjadi kajian bagi mereka yang berlatarbelakang Ilmu komunikasi. Analisis wacana juga bisa menjadi kajian-dalam bidang ilmu lainnya khususnya dalam lingkup ilmu-ilmu social, humaniora, dan susastra.



Kamis, 06 September 2012

Kekuatan Sebuah Nama Pena

Haiii, 

Kenalin namaku Siti Surhana dan nama penaku Nurhana Yatziano. Nama yang terdiri dari dua kata "Nurhana dan Yatziano," ini memiliki filosofi yang dalem banget buat aku. Kalau dijabarin menurut pemikiranku  begini artinya,

Nurhana  ini adalah gabungan nama yang diambil dari ujung nama asli ku Surhana yang ditambah Nur

Yatziano adalah gabungan nama kedua orangtuaku Yatzi(Yati) nama ibuku ano adalah nama dari bapak aku(H.Kano). 

Secara keseluruhan begini artinya, jadi aku ini adalah cahaya kasih sayang bagi kedua orangtuaku dan setiap jengkal kesuksesanku adalah tidak terlepas dari kedua orangtuaku. Sebetulnya sih mungkin kurang nyambung kalau dikaitkan dengan pemaknaan bahasa secara harfiah atau pun lugot. Tapi aku sambung-sambungi aja yang penting pemaknaannya baik bukan ? #hee cari pembenaran :)

Oke, terlepas dari makna sebuah nama penaku yang jelas setelah aku mulai mengikrarkan nama ini ditahun 2011 kehidupan aku berubah 180 derajat terlebih dalam bidang kepenulisan.  Dengan sendirinya semangat aku meletup-letup bagaikan Bom yang mau meledak jika tidak segera diatasi. Aku mulai keranjingan nulis, nuilis apa saja, bahkan hal sepele pun aku tulis dibuku harianku. Sebelumnya juga memang aku suka menulis dan membaca, tapi ada kekuatan lain yang aku dapatkan setelah memiliki nama pena.

Awalnya aku nggak engeh sama yang namanya nama pena. Aku nulis ya nulis aja. Bebera cerpen atau pun artikel yang aku buat pada waktu zaman dulu tetap menggunakan nama asli. Dan entah kenapa tidak ada keberanian buat mempublikasikannya ke media masa. Paling hanya nongol dibuku harian atau pun di mading sekolah. Setelah itu ya sudah tidak ada yang membekas.

Hingga 2011, aku masuk komunitas literasi "Rumah Dunia" yang di asuh ayahanda Gol A Gong dan ibunda Tias Tantaka (heee, karena beliau lah aku berani bermimpi). Ditempat ini lah semua berawal, semangatku yang mulai mengendor dalam dunia kepenulisan mulai bangkit lagi. Kepercayaan diri yang tinggi membakar semangat aku untuk menghasilkan sebuah karya. Dan disini juga nama pena aku dikasih masukan sama kedua orang berpengaruh dalam perjalanan kepenulisanku ini.

Dan aku masih ingat pelajaran pertama yang aku pelajari adalah tentang materi jurnalistik, karena menurut Gol A Gong jika sudah menguasai hal ini maka akan mudah untuk menulis fiksi baik cerpen atau pun novel dan sejenisnya. Setelah materi ini selesai maka saatnya mempelajari materi fiksi. Disinilah Gol A Gong menyuruh membuat nama pena.

Benar apa yang dikatakan Gol A Gong, dengan memulai membuat nama pena, otak kita sudah berimajinasi dan berpikir kreatif. Hal ini aku buktikan sendiri, aku mulai menuangkan banyak ide dalam tulisan dimulai dari  pembuatan nama pena tersebut.

Sekarang  banyak hal yang aku dapatkan dari nama ini, mulai dari tumbuhnya kembali semangat dan kepercayaan aku buat menulis hingga aku berhasil mebuat sebuat tulisan dan dipublikasikan  serta banyak dibaca orang. Kritik dan saran sudah pasti berdatangan dan hal ini memberikan masukan yang berarti.

Salah satu karya tulisanku adalah terbit dalam antologi kumpulan cerpen yang ditulis bersama  25 penulis muda Banten, cerpen ku juga pernah terbit di koran lokal, beberapa kali menulis dongeng dan cerita anak di salah satu koran lokal yang sama, dan beberapa kumpulan cerpen aku dimuat dan dibukukan dalam beberapa antologi keroyokan.

Nah,

Meski banyak penulis hebat yang tetap menggunakan nama aslinya, bagi aku nama pena memang penitng dan memberikan kekuatan serta keberuntungan tersendiri bagi pemiliknya. So  mari menulis dan mulai mebuat nama pena, hehee :)

Inilah saat pertama belajar tentang kepenulisan bersama Gol A Gong dan relawan Rumah Dunia di bawah pohon nangka yang rindang. Dan sebentar lagi di tempat ini akan mewujud sebuah gedung literasi (Taman Ismail marjukinya Banten) jadi tidak hanya Jakarta aja yang punya, Banten juga punya. Semoga, amiin :)

Cerita Tak Ber-ending


“Entahlah”!

Selalu saja kata itu yang keluar dari pikiranku. Mengepungku. Memenjarakan jiwaku. Ini gila.

Kamu tahu kenapa ?

Karena aku tidak tahu lagi harus dengan apa menggambarkan luka ini.

Perihnya menyayat-nyayat. Menari indah dibenaku,  menyiksa, sial.

Bergentayangan dan menghantui hari-hariku.

Kelam, gelap, dan tidak ada yang bisa ku pagut dari kisah ini.

Selain, luka, kecewa dan merana.

Aku hanya bisa mengutuk diriku sendiri, setelah janji tengah malam mendekati pagi itu terucap

lancang dari mulutku. Berulang kali kuucap kata janji  itu, hanya sekedar untuk membahagiakanmu

atau  membuatmu tersenyum puas dan  bernafas  lega.

“Aku janji takan pernah menghubungimu lagi. Aku janji, aku janji,” begitulah kalimat pahit yang

pernah kuucapkan untukmu. Mengingkari hati yang sudah tak berbentuk lagi. Remuk.

Dan mendadak butiran hujan turun lebat disudut mataku. Suaraku semakin tersendak. Sakit tak

tertahankan.

Terlebih kau hanya diam dan membisu diujung sana.

Hanya sesekali kata “maaf” terucap dengan riyak air matamu.

Apa yang sebenaranya kita cari? Apa yang sebenarnya kau inginkan?

Maaf, jika aku tak mampu mengerti inginmu.


****

“Lepaskan aku,”  Suaramu  membuyarkan keheningan malam yang mulai memagikan diri

Aku tertunduk lemah, sekali lagi hujan turun semakin deras bukan lagi dari sudut mataku tapi lebih

dalam pun hatiku semakin karam.

Janjiku semakin kupatri setelah kutahu inginmu.

“Aku tidak akan menggagu hidupmu lagi, tidak akan.  Pergilah sayang !”kataku  lirih nyaris  tak

bernyawa. Seolah akulah pengganggumu, tanpa di sadarai kaulah yang mulai menggangguku

hingga arus cinta itu mengalir deras dan tak dapat kita bendung lagi

Jiwaku serasa remuk redam, tak percaya kau memintaku mengakhiri rasa itu.

Jujur aku tak sanggup, tidak akan pernah sanggup.

Hatiku telah kutanam dalam pada celah hatimu.

Telah kita semai rasa itu, menyiraminya dan memupuknya dengan tawa, tangis, manis, luka dan

suka.

“Inikah akhir dari cinta terlarang ini, sayang,” gumamku nelangsa.

***

Saat-saat seperti ini aku berharap kau berlari dan memburuku.

Seperti waktu-waktu lalu.

Setelah kau ucap kata pisah, kau selalu datang kembali.

Memeluku, mengecup keningku, menyentuh lembut bibirku dan wangi desah nafasmu selalu

menenangkanku.

 Lalu, seribu janji kau ucapkan.

“Maafkan aku, aku janji takan meninggalkanmu. Aku selalu ada untukmu, disampingmu dan

Menjagamu. Aku menyayangimu, sayang,” katamu syahdu.

Ingin rasanya, kalimat itu kau ulang dan kau utarkan lagi untuku. Meluluhkan hatiku yang hampir

membeku karena lukamu.

Tak perlu kau ucapkan kata maaf, aku tak butuh itu. Karena aku selalu memaafkanmu.

Yang ku mau, hadirmu kini. Itu saja.

 Tapi, tak dapat kupaksa inginku untuk terus bersamamu.

Pergilah, tak perlu kau tengok lagi kehancuran hati dan perasaanku.

Takan pernah ku ucapkan “selamat tinggal” kepadamu.

Karena hati kecilku masih menyalakan  seberkas  cahaya akan kembalimu.

Entah Di sudut mana. Entah  diruang hampa tak terkata. Entah di desa atau dikota bahkan dinegara

tak  bernama sekali pun, aku tetap menunggu.

Dan aku pilih jalanku sendiri untuk sendiri.

***

Lalu kau bercakap pada kegamangan hatiku.

Masihkah kupercaya katamu itu.

Entahlah.

“Aku hanya ingin kita bahagia. Percayalah aku takan kembali padanya,”  katamu

“Aku pergi darimu bukan karena untuknya. Aku hanya ingin bebas dari rasa ini.

Aku hanya ingin menikmati hembusan angin tanpa sendat kepedihan.

Kepedihan dibola matamu, juga di matanya,” lanjutmu

meyakinkanku.

Suaramu tertekan, kurasa ada sesak menjalar didadamu. Membuncah tanpa ampun.

Kurasa ada lelah dibenakmu dalam menjalani dua cinta ini.

 Ada sesal menggerogoti hatimu. Juga hatiku. Atau mungkin juga hatinya.

***

“Kita masih bisa  merasakan bahagia, meski dalam jarak tak terukur sekali pun.

Ini bukanlah akhir dari segalanya serahkan saja pada  sang waktu” masih celotehmu.

Benarkah yang kau katakan, atau ini hanya sekedar lelucon tanpa guyon.

Entahlah.

Mengakhiri tapi tidak benar-benar mengakhirinya.

Mungkinkah?

Maksudmu kau hanya melenggang pergi, mencari jarak,?

Yang kutahu setelah kau putuskan pergi, aku seperti tak tahu lagi bagaimana caranya bahagia.

Sedemikian dalam kah rasaku ini untukmu.

Cinta dan kegilaan. Benar tak dapat kubedakan.

Warasku telah mengendap dalam angan, membumihanguskan logika akalku.

***

Luka itu telah meminta lebih cepat waktunya.

Kini tak perlu lagi ku tunggu  Desember untuk luka kepergianmu seperti tahun lalu.

Lalu, episode tentangmu bagai slide berebut meminta untuk diputar.

Dan dipertontonkan pada jiwaku yang merongrong, luka. Pedih kurasa. Sungguh.

***

Sepertinya cerita tentangmu, takan pernah habis untuk kutulis.

Dihatiku catatan tentangmu, bagai novel tak berending.

Bab ke bab menyimpan sejuta cerita, bahagia, sedih, luka, tawa. Dan hanya aku yang tahu itu.

Hanya aku yang rasa itu.

Maka kucukupkan saja, ceritamu malam ini.

Besok akan kulanjutkan lagi, hingga aku tak sanggup lagi untuk menulis tentangmu.


*Jumat, 17 Agustus 2012

1:34 WIB


Kupeluk wajahmu dalam bayang temaram,

Hingga sejuk embun pagi menyapaku manja  ^^____^^



 



Sabtu, 11 Agustus 2012

I'M STILL LOVING YOU

Time, it needs time

To win back your love again

I will be there, I will be there

Love, only love

Can bring back your love someday

I will be there, I will be there


I'll fight, babe, I'll fight

To win back your love again

I will be there, I will be there

Love, only love

Can break down the wall someday

I will be there, I will be there


If we'd go again

All the way from the start

I would try to change

The things that killed our love

Your pride has built a wall, so strong

That I can't get through

Is there really no chance

To start once again

I'm loving you


Try, baby try

To trust in my love again

I will be there, I will be there

Love, our love

Just shouldn't be thrown away

I will be there, I will be there


If we'd go again

All the way from the start

I would try to change

The things that killed our love

Your pride has built a wall, so strong

That I can't get through

Is there really no chance

To start once again


If we'd go again

All the way from the start

I would try to change

The things that killed our love

Yes, I've hurt your pride, and I know

What you've been through

You should give me a chance

This can't be the end

I'm still loving you

I'm still loving you, I need your love

I'm still loving you

Rabu, 08 Agustus 2012

Dua Cinta Terkubur Senja

Terbit dalam antologi kumpulan cerpen Teen On The Highway

Alun-alun Kota Serang,  membawaku pada luka yang menganga atas nama cinta dan persahabatan. Mempermainkan lembut jemariku, meremas rasa yang menyesakan dada. Sendiriku mengembara mencari ketenangan dengan sejuta rasa bersalah padanya. Di setiap pojok pendopo yang gelap kutemui mereka-mereka, yang kata orang sedang berpacaran  saling melepas tawa.

Kukulum senyum dengan derai air mata. Terlintas Bayang wajahnya saat menggenggam tanganku, di ujung pendopo waktu lalu. Aku merindukan suasana itu, menghabiskan waktu yang kurasa tidak sia-sia karena aku dan Andra saling melengkapi dia mendampingiku saat aku menjalani hari-hari tersulit untuk aku lalui sendiri.  Dan sebaliknya aku selalu berusaha ada buat dia. Namun aku harus tersadar, saat orang-orang itu menatapku curiga. Semua telah pergi, semuanya telah berakhir.

Kuputuskan melangkahkan kaki pergi dari kenangan yang menyakitkan. Meski lagi-lagi semua terasa berat dan menyiksa. Akhirnya lelahku membawaku duduk merenung menatap bintang yang sedang tidak nafsu mengajaku bercengkrama malam ini.  Entah ia murka atau memang benci mendapati keegoisanku. Mempertahankan sebuah perasaan yang jelas akan sama-sama menyakiti hati kami. Ya, hati aku dan dia. Dia, sahabatku. Sahabat yang baru saja akan mewarnai hari kebersamannya dengan laki-laki yang juga sahabatku. Laki-laki yang memberi cinta di antara kami.

Andai saja dari awal aku tahu, perasaan ini akan hadir menghampiriku. Akan aku tolak dan tak akan kubiarkan merasuk relung hatiku. Tapi, siapa yang tahu kapan kita memilki perasaan itu, kita tersakiti dan kita terluka. Aku tidak pernah merencanakan pertemuan dengannya. Mungkin takdir yang membawaku mengenalmu, Andra, dan juga mengenal Rita. Aku tidak pernah menyesali pertemuan ini. Dan aku juga tidak bisa menyalahkan diriku sendiri atas perasaan ini.

Tuhan, egoiskah aku ? Keluarkan aku dari sangkar cinta yang memenjarakan hati ini. Maafkan aku  terkadang kuacuhkan malaikat yang selalu mengingatkanku rasa ini salah jika kuteruskan.

Seperti tersembunyi dibalik sayap malaikat, aku masih menyimpan harap atas rasa terlarang ini. Mengabaikan tangis yang tumpah dari pemiliki bola mata indah itu, bola mata sendu milik  Rita.

Masih di sudut malam, aku menyendiri dengan segala ketiadamengertianku. Biarlah luka menyelimutiku lewat dinginnya malam ini. Aku tidak mau pulang.

**********

“Aku tidak pernah membayangkan akan seperti ini jadinya. Jika aku bisa memilih sudah kupilih dari dulu,” kata Andra, lirih mendarat didaun telingaku. Membuat aku panas dan isak tertahan diujung tenggorokan.

“Lalu apa yang harus kulakukan, semua ini salahku. Andai saja aku mampu menahan emosiku untuk tidak marah terhadap sikapmu malam itu, mungkin masalah ini tidak akan serumit ini,” sesalku  kukulum dengan paksa.

“Tiada yang salah, dan nggak usah cari siapa yang salah. Kamu harus membantuku mencari solusinya. Aku tidak ingin ada yang terluka, diantara aku dan dia, diantara aku dan kamu dan diantara kamu dan dia,” Andra cukup bijak mengatasi persoalan ini. Dan aku terdiam sesaat, membiarkan udara segar masuk keparu-paruku.

Sementara langit masih mengalunkan nyanyian awan gelap atas mendung yang beberapa hari ini nampak sedih. Sedih karena burung-burung tak lagi hinggap dipohon-pohon yang sama. Semua seakan berjalan sendiri memilih arah jalan yang berbeda. Tawa itu tidak lagi sampai pada awan putih.  Seperti Rita tak lagi bercerita kepadaku. Ia pergi bersama luka yang kutorehkan padanya. Tuhan, andai aku bisa, akan kupilih jalan hidupku tanpa harus menyakiti orang-orang yang pernah kenal baik denganku.

Aku sadari sepenuhnnya pada akhirnya semua ini pasti akan terbongkar. Kebersamaan itu, perhatian lebih, tawa hangat yang selalu Andra tawarkan, seharusnya tak kuartikan lebih juga. Terlalu bergairah aku memaknai arti rasa yang justru kini menghancurkanku. Menghancurkan perasaanku, menyakiti hatinya, dan aku terkukung oleh rasa bersalah dan juga kebencian terhadap Andra. Yang seakan lari dari masalah.

“Rita, andai saja aku bisa menggenggam waktu. Akan aku putar lagi dan ku ubah semua menjadi indah tanpa harus ada rasa cinta dari laki-laki yang sama yang menyekat persahabatan kita,” tangisku tumpah menelan rasa kecewa pada diriku sendiri.

*******

“Tolong jelaskan kepadaku Rifa ! Apa maksud dari semua ini. Apakah aku yang salah, hadir diantara kalian. Aku mungkin wanita bodoh yang tidak tahu apa-apa. Yang kutahu, kamu sahabat dekat Andra dan aku kekasihnya. Hanya itu yang ku tahu Rifa. Ku rasa  wajar, jika aku menangkap hal yang aneh diantara kalian. Kalian seperti memilki hubungan yang lebih dari seorang sahabat. Kemarahan kamu pada Andra, kata-katamu lewat sms yang kubacaa, membuat aku bingung ada apa sebenarnya diantra kalian. Apa maksud kata-kata terindah yang kamu katakan pada Andra? Apa yang sudah kalian lakuakan? Aku harap ini Cuma perasaanku saja, aku hanya inginkan kejujuran dari hati kalian. Aku tidak akan pernah marah dan aku rela jika itu memang benar,” pertanyaan itu terlontar dari mulut kelu Rita, semua kegalauannya ia tumpahkan meski  terasa berat dan perih menyayat. Bukan hanya dia saja  yang terlihat perih, tapi aku juga.

Entah apa yang mesti aku jawab dan jelaskan padanya. Aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam, memejamkan mata dan berharap angin membawaku terbang ke singgasana cinta. Pertanyaan itu begitu membuat aku tersungkur kelembah hati yang sulit aku jelaskan. Aku memang sahabat dekat Andra, tapi aku juga menjadi bagian dari hati Andra. Dia juga menjadi keka....., akh, sulit rasanya kuteruskan kan perkataan itu. Karena aku tahu pasti akan menyakitkan hatinya. Dan aku harus kembali menelan ludah, aku tidak boleh egois menginginkan setatus hubunganku  dengan Andra  diketahui semua orng termasuk Rita.

Dengan sedikit bergetar akhirnya mulutku terbuka juga, namun sulit rasanya untuk mengeluarkan satu kata  pun dari mulutku. “Hentikan semua kecurigaanmu Rita, tenang saja. Semua perasaanmu salah, diantara kami tidak ada apa-apa. Ini salahku terlalu menuntut perhatian pada Andra, padahal siapa aku ? Aku hanya sahabatnya. Kamu tidak bodoh Rita, dan kamu juga tidak salah, hadir diantara kami. Karena pada awalnya juga, akulah yang hadir diantara kalian. Bukan kamu,” entah dengan kekuatan dari mana akhirnya  aku bisa mengungkapkan semua perasaanku yang sangat menyakitkan. Aku tidak mampu menahan air mataku untuk tidak jatuh.

Setelah itu perasaan kami kembali dipermainkan oleh angin nakal yang memainkan helaian anak rambut yang indah.Kami hanya tertegun menyesali apa yang telah terjadi. Namun kami juga tidak bisa meningalkan cinta kami pada laki-laki yang sama. Keegoisan berhasil memainkan perasaan kami. Seperti bisu, Rita pun tidak berkomentar apa-apa lagi.

Sementara Andra tidak banyak cakap bahkan entah mengapa ia seperti menghindari polemic yang terjadi, membuat kami keheranan. Entah apa yang terjadi,semua seakan ada yang ditutupi dan dirahasiakan.  Andra seakan susah untuk menjelaskan pada Rita, tentang setatus kedekatanku dengannya. Disatu sisi dia juga tidak mau menyakiti hatiku dengan mengatakan tidak ada hubungan apapun antara aku dan dirinya.

Terakhir aku bertemu dengannya ia terlihat pucat dan seakan menahan kesakitan yang hebat. Sebelum ia pergi, ia hanya menittipkan senyum terindahnya, yang terkadang dari senyum itulah aku sulit memejamkan mataku terlelap dalam tidur malam. Dan kini aku hanya bisa menyaksikan senyum itu dalam bayang kecemasaanku akan keadaannya. Tidak mungkin kutanyakan pada Rita soal ini, mungkin dia juga masih menyimpan kesal atas sikapku kemarin.

Lalu apa yang harus kulakukan, semua ini benar-benar membingungkan. Kemana Andra pergi, apa yang terjadi dengannya. Mama, ya mama Andra. Sekarang aku tahu kuncinya, mama pasti tahu dimana Andra berada. Akhirnya kuputuskan menelpon mama, dan aku terkejut mendengar isaknya diujung telpon.

“Nak, maafkan mama baru mengabarimu soal keadaan Andra. Andra, Andra,” suara mama tertahan tangis membuat aku semakin takut terjadi sesuatu dengannya.

“Kenapa dengan Andra, Ma? aku mohon di mana Andra?  Ngomong, Mah! jangan membuat aku bingung dan takut seperti ini,” desaku menjalar sampai ke ubun-ubun. Dengan terbata-bata mama meneruskan perkataannya, “Andra sedang istirahat, Sayang. Andra mungkin kelelahan karena kemarin ikut pertandingan futsall bersama teman-temannya.” Ada yang aneh dari perkataan mama. Mama pasti berbohonng padaku.

Aku tidak boleh diam seperti ini, pasti telah terjadi sesuatu pada Andra. Akan aku ajak Rita pergi bersamaku menemui Andra di rumahnya. Biar Andra jelaskan semuanya. Dengan sebait pesan pendek yang aku kirimkan pada Rita, ia pun mau aku ajak menemui Andra di rumahnya. “Rita, kita tidak mungkin diam menungu Andra seperti ini. Aku tidak mau kamu masih memendam rasa curiga kepadaku. Aku ingin kamu tahu yang sebenarnya dari mulut Andra langsung,” sapaku memecah keheningan yang menyergap. Rita hanya mengangguk tanpa banyak tingkah.

Akhirnya sampailah aku dan Rita di rumah Andra. Ada rasa yang tiba-tiba menyesakan dadaku menatap wajah mama Andra yang terlihat sedih.”Mama yakin kalian berdua pasti datang menemui Andra. Karena kalian adalah wanita yang sangat Andra sayangi. Pergilah temui Andra di pantai Karangbolong. Dia menanti kalian di sana,”  mama seakan sudah tahu apa yang hendak Andra lakukan pada kami.

Mulut gua Karangbolong, Anyer, menganga menyambut kedatngan kami. Dan dibalik karang besar itu tubuh Andra menyandar penuh beban. Penat dan pucat pasai menghiasi wajah gantengnya. Seakan ingin melepas kerinduannya rita berlari memeluk tubuh Andra, dan kakiku terhenti. Tidak mungkin aku memeluknya, memeluk kekasihnya yang juga kekasihku. Hanya air mata yang menetes mengeluarkan rasa sakit ini. Andra hanya menatapku pilu. Dan aku tertunduk tak kuasa menyaksikan semua.

Andra melepaskan pelukan Rita dan memapahnya menghampiriku. Membuat aku kikuk dan salahtingkah. Buru-buru kuseka air mataku, dan kembali tersenyum. “Rifa,” suara berat Andra menyapaku membuat jantungku berdekup kencang dan mungkin bisa memecahkan karang dilautan. Ada rindu membuncah di hatiku. Aku hanya mengulum senyum tanda membalas sapaan Andra.

“Maafkan aku, Rita, Rifa, mungkin aku membuat kalian kesal. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan pada kalian berdua. Kalian adalah wanita hebat yang aku kenal penuh sayang dan perhatian. Maafkan aku telah menyakiti hati kalian. Aku tidak bisa memilih diantara kalian. Maafkan aku Rita aku juga mencintai Rifa. Dan kini cinta kalian berdua hadir mengiasi hidupku yang mungkin akan segera berakhir,” cakap Andra membelakangi kami dan perkataanya membuat aku semakin takut kehilangan Andra. Begitu pun Rita terlihat luka begitu dalam pada bola matanya.

“Plakkk,” Rita membalikan tubuh Andra dan menamparnya keras. Aku hanya terbengong menyaksikan hal itu, tidak menyangka tangan halus dan lembut Rita dinodainya.

“Aku tidak menyangka kamu  lakukan  ini  padaku  Andra. Kamu menduakan cintaku dengan Rifa yang sudah kuanggap saudara sendiri. Aku  kecewa pada kalian berdua,”  isak Rita,  seraya meningalkan aku dan Andra.

“Dengarkan aku Rita, jangan pergi,” ucap Andra sedikit berlari mengejar Rita dan aku hanya menjadi patung tak berguna diam ditempat dengan sejuta air mata menetes deras.

 “ Kamu mau apa lagi Dra, kamu mau menyakiti hati aku lebih dalam lagi,” nada Rita tinggi sambil melepas pegangan tangan Andra yang erat.

“Aku mohon kalian berdua jangan saling membenci karena akulah yang salah, telah bermain dihati kalian. Tapi, asal kalian tahu,  aku bersyukur bertemu dengan kalian karena kalianlah membuat hidupku kembali berwarna cerah. Karena kalian aku berani bermimpi dan melangkah. Karena kasih sayang dan perhatian kalian, aku berani bangkit dari keterpurukan ini,”  jelas Andra membuat suasana semakin sunyi dengan ketiadamengertian.

“Maksud kamu apa Dra, kamu lagi nggak beraktingkan. Disini nggak ada yang buka kasting buat  jadi pemain sinetron. Sudahlah, aku nggak akan anggap kalian ada lagi dalam hidup aku. Terima kasih yah, buat luka yang kalian beri buat aku. Semoga kalian bahagia,” kata Rita sambil melangkah lunglai.

Sementara aku lagi-lagi hanya terdiam kaku. Namun aku terkaget melihat Andra terjatuh limbung dan terkulai lemah. Sontak aku berterik memenggil Rita. “Rita, Andra. Andra jatuh, darah Rita,” Aku berteriak dalam kekacauan. Dan Rita menoleh menyadari keadaan itu dia langsung menghampiri aku dan memeluk Andra.

“Maafkan aku,  aku tidak pernah memberitahukan tentang penyakitku. Dua tahun lalu aku merasa hidupku gelap dan kelam. Ya, dua tahun lalu saat aku divonis dokter mengidap penyakit mematikan  kanker otak,” Andra bersimpuh menatap laut lepas. Ia seakan sudah tidak sanggup menahan beban itu.

Aku dan Rita seakan bagai diterpa gelombang lautan, remuk tak berbentatuk. Kami pun ikut bersimpuh memeluk kekasih kami yang tengah sekarat. Perkataan Andra benar-benar memukul jiwa kami. Ingin rasa aku yang menggantikan posisi Andra, aku tidak sanggup menatap kesakitan pada wajahnya.

“Aku mendapatakan semuanya dari kalian. Kelembutan dari kamu Rita, dan ketegaran dari kamu Rifa. Dan aku takut kehilangan itu semua, aku jalani hari dengan dua cinta perempuan baik seperti kalian. Maafkan aku Rita menghianati cinta kamu, aku terlanjur jatuh cinta pada kamu juga Rifa yang selalu ada buat aku,” suara itu mengalun penuh seka.

“Kenapa kamu tidak pernah cerita soal ini Dra,” tanyaku sesal.

Dan Andra berbisik lirih.  “Maafkan aku, aku sangat menyayangi kalian. Aku tidak ingin kalian tahu dan kalian ikut menanggung sakit ini. Biarkan aku pergi, membawa cinta tulus kalian. Akan aku tunggu kalian di surga. Maafkan aku cinta,” Andra semakin lemah, darah segar menetes dari hidungnya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ku genggam erat tangannya dan kucium punggung tanganya penuh kasih. Berharap kehangatannya memberi kekekuatan pada Andra. Sementara Rita memeluk tubuh Andra kuat dan enggan ia lepaskan. Perlahan langit redup dan gelap. Andra menutup mata entah dengan senyuman atau mungkin penyesalan.  Langit menangis, Senja di ujung pantai tak lagi eksotik. Semua kelam menyakitkan. Aku dan Rita memeluk cinta yang telah pergi bersama senja.

Kosan, 30 september 2011

Time 08.31 wib.

Khayalan Negari Antah Berantah

Malam ini aku hanya ingin sendiri, menikmati hembusan angin malam yang membelai lembut sukmaku. Aku menyusuri jalanan Kota Serang,  dari mengelilingi alun-alun hingga tempat pusat-pusat perbelanjaan seperti Ramayana-Royal. Ada yang berbeda dengan malam ini, aku merasakan aku sedang berada di negera asing. Aku sedang melancong menikmati suasana malam dengan ditemani tas gendong Corboni bergambar tengkorak kepala dan tulang belulang. Aku seperti seorang treveler. Ya, aku merasa menjadi seorang treveler.

Tapi, orang-orang yang aku lihat fisiknya sama denganku, bahasanya juga aku mengerti. Sama sekali tak ada yang beda. Akh, aku hanya menghayal rupanya.

Tidak, tidak, malam ini aku serasa sedang berada di negari antah berantah. "Ini bukan daerahku," aku masih berkilah. Jiwaku, pikiranku, melayang entah kenegara mana khayalanku berlari.

Malam ini aku semakin menggila.  Aku berharap orang yang aku sapa tak mengerti bahasaku dan aku berharap mereka membalas sapaanku  mungkin dengan bahasa Inggris yang aksennya kental dan fasih sekali. Atau mereka menjawab dengan bahasa Nepal, Cina, Mandarin, Jepang, yang sama sekali tidak aku pahami. Tapi, sial. Aku menggerutu dalam hati. semua yang aku sapa mengerti bahasku. Nyatanya aku masih didaerahku, aku masih dinegeriku sendiri.

Entah apa yang terjadi denganku malam ini. Semua keramain, hilir mudik kendaran, lalu lalang orang-orang, menjelma seperti orang-orang asing dan aku adalah tamu dinegara mereka. Sekali lagi tak ada yang aneh, tempat ini nyata sering aku kunjungi bersama sahabat karibku. Tapi, aku berjalan bagaikan dinegara antah berantah tadi. Aku masih berharap saat aku melakukan transaksi membeli barang ditoko baju, ataupun sepatu mata uang yang kupegang tidak lagi rupiah, mungkin USD atau CNY.  Dan nyatanya, uang itu memang lembaran rupiah.

Yeah, mungkin malam ini aku di rasuki banyak jin khayalan yang bergentayangan di memoriku. Aku hanya berharap negara antah berantah itu tidak hanya sekedar khayalku belaka. tapi suatu saat aku mampu menaklukan dan menembus negara itu. Negara yang jauh dari jangkauanku bahkan dalam mimpipun tak pernah hadir.

Negara antah berantah itu  mungkin negara Eropa, Asia, dan negara yang ada di seluruh dunia.


Tuhan, malam ini aku hendak tidur dengan khayalanku itu. Peluklah mimpiku dan suatu saat saat aku sudah benar-benar bisa membuka mataku. Aku sudah berada di negara antah berantyah itu. Amin.




Selasa, 07 Agustus 2012

Kado Kematian di Malam Pertama

Terbit di harian umum koran Radar Banten, 13 November 2011


Wangi bunga itu khas sekali menyeruak ke dalam dua lubang hidungku. Wanginya tajam memenuhi ruang sempit kamar kosan baruku. Anehnya wangi bunga itu selalu muncul tengah malam, saat semua mata terlelap dalam kantuknya masing-masing. Hanya mataku yang selalu terjaga. Penyakit insomnia yang kuderita beberapa tahun belakangan ini, membawa petaka pada kehidupanku sehari-hari. Dan entah kutukan apa yang menyumpahku, sehingga penyakit ini menemani setiap pejaman mataku. Wangi itu muncul lagi, tepat tengah malam. Dan malam ini, malam Jumat kliwon. Serentak jantungku berdetak kencang seperti hendak copot dari tempatnya. Bulu kudukku berdiri lurus 180 derajat. Pikiranku melayang kemana-mana. Mulai kacau. Tiba-tiba lampu kamarku mati. Gelap dan sangat gelap. Kepanikanku pun melebihi overdosis. Di tengah keheningan dan kegelepan malam, suara halus yang menyeramkan datang menyapaku. “Hanaaaa, temani aku, aku kesepian.” Suara itu berulang-ulang memanggilku. Sementara mulutku terus kumat-kamit membaca jampi-jampei yang aku sendiri tidak tahu apa artinya. “Ya Tuhan, apa salahku, kenapa makhluk menyeramkan itu selalu mengganggu malamku?” Hanya sebait doa itulah yang sedikit menenangkan debur jantungku yang tak terkendali. Ini bukan yang pertama, makhluk halus dengan wangi bunga khas seperti melati itu mendatangiku. Entah apa yang dia inginkan dariku, aku tak tahu. Dia tidak menyakitiku, tapi selalu menerorku seperti ingin menyampaikan suatu rahasia terbesarnya kepadaku. Dan entah kenapa saat tengah malam tiba, salah satu kamar kos di samping kamarku selalu terdengar mengerek terbuka. “Krek, krek, krek.” Dan angin pun menelusup kencang menjatuhkan barang-barang yang ada di kamar itu. Suara di kamar itu sangat gaduh, teriakan histeris suara perempuan disiksa melengking menyakitkan. Cacian dan makian terlontar dari mulut seorang lelaki bertubuh hitam legam menyaingi seribu lolongan anjing. Tangannya yang kasar mendamprat pipi halus nan ranum milik perempuan itu. Hingga ia tersungkur di pojokan ranjang yang mirip kamar pengantin. Lalu ada cairan merah di sudut mulutnya menetes pada seprei pengantin bertabur bunga melati itu bukan bunga mawar seperti kamar pengantin pada umumnya. Entah kenapa bunga melati bukan bunga mawar, sekali lagi aku tak tahu. Perempuan itu tertunduk, menangis. Kebaya putihnya yang semrawut. Laki-laki itu cekatan menarik hiasan bunga melati pada sanggul rambutnya. Menjambaknya dan menyeretnya tanpa belas kasihan. Bunga itu tercecer di mana-mana. Kepalanya dibanting dengan keras pada tembok berwarna putih cerah itu. Sehingga menyisakan noda merah yang kental. Ia semakin lemah tak berdaya, suaranya tercekat oleh cacian laki-laki kejam itu ia tak memberi kesempatan pada perempuan itu untuk berbicara. Aku hendak muntah menyaksikan hal itu. Dan bau amis segera menyergap ruang yang tadi bau wangi melati. Aku ingin membantunya, tapi perempuan itu tak dapat aku sentuh. Sorot matanya menatapku penuh kesakitan, napasnya tersengal mengerikan. Air mataku mengalir deras, seperti derasnya darah yang mengalir dari kepala perempuan itu. Aku berlari meminta pertolongan orang-orang di sekitar kosanku. Aku berteriak histeris dengan napas tersengal. Tapi, orang-orang yang kulihat hanya terdiam kaku. Sorot matanya merah, wajahnya pucat pasi mengerikan. Aku tak mengerti dengan keadaanku, aku berteriak pada diriku sendiri. “Aku sudah gila, ini hanya mimpi!” aku meyakinkan diri sambil menjambak rambutku sendiri, lalu duduk mendekap kedua lututku yang gemetar hebat. “Tapi, ini nyata, perempuan itu disiksa seperti binatang. Dan ia sempat mengucapkan sepatah kata pada diriku untuk menolongnya,” suara hatiku mengetuk kembali. Aku pun bangkit, mengangkat kepalaku membuka mataku yang sembab oleh air mata. Seperti mendapatkan hantaman petir di siang terik, suaraku pecah menggetarkan seantero bumi yang tampak membeku. Perempuan itu mengulurkan tanganya padaku dan berbisik lirih. “Aku masih perawan,” tangannya melemah dan napasnya lerlepas dari jasadnya. Sebilah belati mengantarkannya pada pintu kematian. Laki-laki itu nampak tersenyum puas. Dan laki-laki itu semankin beringas menyeret jasad perempuan yang baru seminggu menjadi istrinya, menuruni tiga belas anak tangga. Membawanya ke lantai bawah dan menguburnya di bawah pohon mangga yang lebat. Pikiranku mulai stres, mataku mulai kabur. Hanya darah segar yang kulihat mengalir di setiap seretan tubuh perempuan berkebaya putih itu. Aku terkulai mataku terpejam. *** Kokokan ayam dan wangi subuh menyapa kantukku di pagi buta. Aku terperanjat mendapati keadaanku baik-baik saja. Aku baru teringat kejadian tadi malam, begitu menakutkan dan menegangkan. Aku amati sekeliling kamar tidurku, tak ada sedikit pun bercak darah atau wangi bunga melati apalagi bau amis darah. “Mimpikah aku tadi malam?” dengusku sesak. *** Perlahan matahari terbangun dari tidurnya, menyapa bumi yang nampak membeku. Matahari seakan mengerti keadaanku yang dingin sejak mimpi-mimpi aneh itu menghantuiku. Ia mulai mencairkan keadaanku dengan sinarnya yang hangat. Mimpi itu mulai mengganggu aktivitasku sehari-hari. Aku nampak murung dan keningku mengerut membikin lipatan. Aku tidak bisa berdiam diri terus seperti ini. Aku harus cari tahu arti dari mimpi-mimpiku selama ini, dan aku yakin ini pasti ada sebuah rahasia yang ditutupi di kosan ini dan aku harus segera membongkarnya. Ada satu hal yang mengganjal hatiku, kenapa wanita itu mengatakan kalau dia masih perawan. Apa hubungannya dengan semua ini. Hari ini aku berencana mencari informasi tentang wanita berkebaya putih itu dengan menanyakan pada ibu kosan yang terkesan tertutup dan tidak banyak bicara. Dengan kekuatan yang aku miliki, aku bergegas turun ke bawah untuk menemui ibu kos sebelum ia pergi dan tak terlihat lagi batang hidungnya untuk beberapa hari ke depan seperti biasanya. Aku tak tahu ibu kos pergi kemana, yang jelas ia jarang ada di rumah. Hanya tetangga kos yang aneh dan nampak acuh selalu aku temui setiap hari. Sebelum ibu kos melangkahkan kedua kaki dan menstarter mobilnya yang tua, aku sudah berada di depan rumahnya dan mengetuk pintu yang tampak terbuka. “Permisi Bu, boleh Hana masuk,” izinku kepada pemilik rumah, namun ibu kos tak menyaut. Aku tetap memaksa masuk meski tanpa izin. Aku mulai menelusuri rumah yang terkesan dingin dan angker itu. Satu persatu aku perhatikan, dari warna cat dinding yang mulai pudar, kamar-kamar yang sepi nampak seperti gudang, sudut-sudut ruang yang berdebu, dan foto-foto keluarga yang dipajang di ruang tengah. Aku menyunggingkan senyum terindah di bibirku. Sebuah foto perempuan yang nampak cantik dan dipeluk mesra laki-laki berkumis tipis terlihat romantis. Aku yakin, itu foto ibu kos dengan suaminya waktu muda. “Romantis juga suami Ibu,” pikirku sambil senyum. Aku terus memperhatikan foto-foto yang terpajang rapi, tapi anehnya aku tidak menemukan foto keluarga besar ibu dengan anak-anaknya. Belum juga hilang keherananku, mataku terbelalak dengan apa yang aku lihat. Sebuah foto pengantin berkebaya putih tengah dipeluk pasangannya. “Foto itu, ya foto itu seperti yang ada dalam mimpiku selama ini,” teriak batinku tak tepercaya. Aku melangkah mundur. Aku membungkam mulutku agar isak tangis tidak terdengar orang rumah. Bulu kudukku berdiri. Aku merasakan suasana yang aneh. Menyeramkan. Aku tak kuasa menatap foto itu. Ada luka di senyumnya. Aku pun membalikkan badan. Suara halus menyapaku tiba-tiba, mengagetkanku yang sedang ketakutan. “Kamu lihat apa Nak,” tanyanya sambil menepuk pundaku. Aku pun gelagapan dibuatnya. “Aaaku tidak lihat apa-apa Bu,” jawabku terbata-bata. “Aku cuma belum pernah lihat foto itu, Bu. Kalau boleh tahu dia siapa?” lanjutku bertanya pada Ibu kos setenang mungkin. Ia melangkahkan kaki meninggalkanku dengan air bening di sudut matanya yang sayu. Pertanyaanku membuatnya sedih. Aku merasa bersalah dan segera mengejarnya. “Maafkan aku, Bu.” lirihku pelan. Ia menoleh iba padaku. “Kamu tidak usah minta maaf, kamu tidak salah apa-apa. Justru Ibulah yang minta maaf karena tidak menjawab pertanyaan kamu,” suasana pun mencair kembali. “Ibu, aku hanya ingin tahu siapa perempuan yang di foto itu, apakah dia anak Ibu?” tanyaku kembali. “Kenapa kamu ngotot sekali ingin tahu tentang dia,” Ibu balik bertanya. “Karena dia selalu hadir dalam mimpi saya Bu. Dia seperti ingin menyampaikan sesuatu kepada saya,” jawabku lugas. Aku menatap keluar rumah. Kaca depan yang sedikit tertutup gorden warna krem memperlihatkan pohon mangga yang lebat, seperti pohon mangga yang ada dalam mimpiku. Dan perempuan itu dikubur di sana. Ibu mulai menjawab pertanyanku. Dengan tatapan kosong dan hampa ia seperti memutar kembali memorinya, mengingat kejadian yang merenggut nyawa perempuan berkebaya putih itu. “Ia bernama Nurmala, anak angkat Ibu. Dua puluh tahun lalu Ibu dan suami mengadopsi Nurmala di panti asuhan, karena Ibu tidak akan bisa memiliki anak seumur hidup. Kanker rahim yang Ibu derita menghapus semua mimpi indah Ibu menjadi seorang Ibu. Tapi sejak hadirnya Nurmala di kehidupan kami, Ibu merasa dunia ini sangatlah indah dan berwarna. Ibu menyayanginya seperti anak kandung sendiri. Sampai ia tumbuh menjadi seorang anak yang dewasa dan cantik. Banyak laki-laki terpikat oleh kebaikan dan kecantikanya. Hingga hari bahagia itu tiba. Nurmala dipinang laki-laki pujaan hatinya. Kami pun menyetujinya. Pernikahan pun dilangsungkan. Nurmala terlihat cantik dengan gaun kebaya putih dan hiasan bunga melati disanggul rambutnya. Ia sangat menyukai bunga melati. Maka kamar pengantinnya pun ia taburi bunga melati. Ia memilih kamar pengantin di kos lantai atas di samping kamar kosan kamu. Entah kenapa dia memilih tempat itu, Ibu tidak tahu. Padahal kamar di rumah Ibu banyak yang kosong,” Ibu terus bercerita mengenang Nurmala. Ada senyum di sudut bibirnya. Tapi Ibu nampak sedih ketika hendak melanjutkan ceritanya. Tenggorokannya seperti tercekat, membungkam vita suaranya sehingga tak mampu berkata-kata. Air matanya mengalir deras seketika, membuatku salah tingkah. Aku mencoba menenangkannya dan merangkul tubuh rentanya. “Apa yang terjadi Bu, ceritaknlah padaku,” tawarku hangat. “Laki-laki biadab itu membunuh anakku, dia membunuh anakku,” Ibu berteriak histeris, jatuh tersungkur dengan penyesalan yang teramat dahsyat. “Maksud Ibu apa, aku tidak mengerti. Siapa laki-laki yang tega membunuh Nurmala?” tanyaku semakin penasaran. “Dia adalah ayahmu...” Seperti disambar petir. Aku tak bisa berkata sepatah pun. Angin dingin berdesir menyapu tengkuk. Firasatku mengatakan, sesuatu terburuk bakal terjadi. Nyawaku seperti tercabut saat tiba-tiba ibu kos menatap tajam. Sepasang matanya berkilat-kilat. Aku tidak lagi melihat itu adalah sepasang matanya, tapi sepasang mata milik wanita berkebaya putih. 



(*) Nurhana Yatziano adalah penulis Gilalova 4 # Kado untuk Ratu. Ini adalah cerpen perdana yang dimuat di Radar Banten.

AKU

 Terbit dalam antologi kumpulan cerpen "Kenapa Harus I Love U" bareng anak FLP Serang

“Pakupatan, Pakupatan, Serang, Serang,” suara kenek melengking nyaring membuyarkan seluruh penumpang yang sedang tertidur pulas. Dengan kantuk yang masih tertahan semua orang berhamburan keluar meninggalkan mobil jurusan Bayah-Serang. Begitu pula aku, dengan sedikit sempoyongan bergegas mengikuti jejak penumpang lainnya. “Ciceri, Neng?” tanya supir angkot. “Iyah Pak, kampus IAIN yah,” jawabku sambil masuk ke dalam angkot berwarna biru tanpa basa basi. Hatiku bergemuruh di sepanjang jalan, Bayah-Serang membuat aku menitikan air mata. Lelah perjalanan selama lima jam yang aku tempuh, terbayar saat angkot berhenti tepat di gedung berwarna jingga.

 “Huh,” aku menarik nafas dalam-dalam setelah mengeluarkan uang pecahan dua ribu rupiah membayar ongkos angkot. Aku terhenyak bagai bangun dari buaian mimpi. Sebuah kalimat terpampang jelas di sebuah baliho berukuran besar. “Selamat datang kepada calon mahasiswa baru di kampus IAIN SMH Banten,” kalimat ini tertulis dengan tinta warna jingga mencolok. Aku hanya tertegun. “Aku sampai di kota, Mak. Aku sampai di tempat yang beberapa tahun ini akan menjadi tempat untuk belajar dan menuntut ilmu. Tempat yang akan memisahkan kita sampai aku mendapat gelar sarjana,” desisku dengan nafas yang memburu. Ada sesak menjalar disekujur tubuhku. “Aku pasti bisa, Pak. Aku pasti berhasil,” doaku lirih seraya mengucap lapadz Basmallah. Aku langkahkan kaki masuk ke dalam kampus. Aku segera berbaur dengan calon mahasiswa lainnya. ini hari pertama aku mengikuti tes hingga dua hari kedepan. 

**** 

“Nufus Sukaryo, lulus di fakultas ushuludin dan dakwah, jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam,” papan informasi itu di kerubuti banyak mahasiswa dan namaku tercantum diantara ribuan mahasiswa lainnya. Aku sujud syukur, tetesan bening menetes mengalir deras diujung bola mataku. “Ini saatnya aku menjalankan amat kedua orangtuaku, belajar yang giat dan rajin hingga kelak kesuksesan akan aku persembahkan pada mereka yang mungkin sudah renta” semangatku dalam hati yang menggebu 

***

Tahun-tahun pertama, kuliahku lancar dan aku aktif di berbagai organisasi. Mulai dari organisasi freemordial hingga unit kegiatan mahasiswa. Banyak ilmu yang aku dapatakan di luar sana ketimbang duduk manis di bangku kuliah mendengarkan ceramah para dosen yang kadang hanya terpaku dengan silabus mata kuliah yang tidak dimengerti. Kadang aku merasa bersalah kepada orangtuaku, sering kabur dari bangku kuliah dan memilih kuliah sendiri dengan duduk dipojokan ruang sepi tanpa banyak penghuni. Memilih buku sesuka hati dan membaca penuh kekhusuan hingga lupa waktu dan berkali penjangga perpustakaan mengingatkanku waktu kunjungan sudah habis. “Andai saja ada perpus buka 24 jam, aku pasti betah sehari semalam di ruang ini,” Dengan dengusan kesal dan gerutuan tanpa makna dan entah kutunjukan pada siapa, aku melengos begitu saja. 

***

Malam tanpa bintang dan nyanyian jangkrik. Aku tertunduk lesu dengan muka penuh rindu. Kutatap lekat wajah lusuh Bapak dan emak ditengah sepetak sawah dalam bingkai foto. Bayangku kembali mengembara pada waktu dimana aku masih kecil dan penuh mimpi. Dengan rayu manja dan belai lembut tangan bapak yang meski terasa kasar. Aku mengutarakan citaku menjadi seorang wartawati dengan menuntut ilmu diperguruan tinggi negeri. Bapak hanya tersenyum kecut, beban berat begitu menggelayut dibenaknya. “Adakah cita-citamu yang lain, Nak,” bapak bertanya dengan sangat hati-hati. “Tidak Pak, aku hanya ingin jadi wartawati biar aku bisa mengabarkan informasi pada semua orang tentang apa pun, biar aku bisa menulis jeritan hati rakyat kecil yang menuntut keadilan seperti kita. Aku hanya ingin menulis dengan kejujuran tanpa kebohongan, Pak, sehingga tidak ada lagi yang ditutup-tutupi seperti kematian Teh Sarah yang dikabarkan media hanya karena kecelakaan biasa,” kataku panjang lebar tanpa jeda. Ada luka tercekat diwajah Bapak dan Emak ketika kubuka kembali lembaran pahit tentang kematian Teh Sarah. Tetehku satu-satunya ini menjadi korban kekerasan majikan di luar negeri sana. Pemerintah tidak memberikan kepastian yang jelas tentang sebab kematian the sarah, media hanya menuliskan sekedarnya tentang pemberitaan kematian tetehku yang hanya diduga karena kecelekaan. Aku tidak mengerti kenapa tidak ada kejelasan seperti ini, kenapa semua menjadi keruh, aku tidak mengerti, dan takan pernah kumengerti. “Pergilah Nak, raih citamu setinggi mungkin. Bawalah uang ini, uang hasil penjualan sepetak sawah yang dulu bapak beli hasil dari gaji tetehmu. Bapak yakin, tetehmu pun setuju jika sawah ini dijual untuk bekalmu menuntut ilmu dan kelak kamu bisa menuliskan tentang jerit tangis rakyat kecil yang juga bernasib sama seperti 

kita,” kata Bapak melepas kepergianku menuju kota Serang dengan cucuran air mata. 

****

Empat tahun berlalu begitu lambat bagiku, terlebih selama ini aku belum pernah bertemu dengan kedua orangtuaku. Aku sudah berjanji tak akan menemui mereka hingga aku bergelar sarjana. Namun hari ini kerinduanku akan segera terobati, gelar sarjana akan aku raih tinggal menunggu beberapa jam. Ada senyum bangga terkembang dari bibirku yang mulai bergetar menahan air mata. Berkali kulirik jam tangan yang serasa melambat, Aula utama bernama gedung Prof. K.H Sjadeli Hasan sudah sesak dengan haru tangis keluarga yang menyaksikan anaknya memakai toga. Aku hanya berdiri tegang, kenapa kedua orangtuaku tak kunjung datang. Apa yang terjadi, sebentar lagi giliranku. Aku ingin menangis sejadinya, hingga acara selesai dan hanya menyisakan bangku kosong berantakan. “Orangtuaku tak datang,” aku terduduk lemah dengan memeluk bunga pemberian teman-teman. “Berdirilah, tugasmu selesai. Kamu sudah membuat bangga kedua orangtuamu gelar sarjana dan pekerjaan di media cetak ternama sudah kamu dapatkan. Marilah kita pulang temui kedua orangtuamu,” suara lembut sosok laki-laki yang tidak asing bagiku menyapa dan memapahku masuk ke mobilnya. “Kenapa Bapak dan Emak tidak kamu bawa Mas, bukankah sudah kukabarkan aku di wisuda hari ini” tanyaku pada laki-laki yang kelak ku harap menjadi imamku. “sudahlah, nanti juga kamu tahu,” jawab Mas Adit tenang. Dan aku kembali menikmati perjalanan pulang ke kampung halaman. Deburan ombak, asinnya air laut, pesawahan dan perkebunan karet, menyambutku dengan riang. Aku sudah tak tahan ingin memeluk kedua oarngtuaku.

 ***

 Namun, tak ada Bapak dan Emak yang datang menyambutku. hanya keriuhan, tangisan, dan alunan ayat-ayat suci al-quran yang bersenandung memenuhi rumah sempit bertembok bilik. “Ada apa ini,” pirasatku buruk. “Arus ombak yang pasang menyeret bapak dan Emakmu saat mereka menjala ikan untuk makan, karena tak ada uang untuk membeli lauk. Di pantai Pulomanuk inilah kedua orangtuamu tenggelam dan nyawanya tak tertolong. Bersabarlah Nak, Bapak dan Emakmu sudah tenang dialamnya. Ikhlaskan saja.,” cerita tetua dikampungku dengan mengelus lembut kepalaku. Di atas gundukan tanah merah aku menangis sejadinya, aku memeluk Bapak dan Emak di alam, tempat dan waktu yang berbeda. Kuletakan togaku diatas pusara kedua orangtuaku. Hingga hujan turun tanpa guntur, aku masih memluk gundukan tanah merah itu. Aku tak mau berlalu dan hidupku serasa tak bernyawa. 

@Nurhana yatziano mahasiswi KPI semester IV yang terus mencoba belajar menulis 

 22 Mei 2012,

Senin, 06 Agustus 2012

Luka di Ujung Desember :'(

Aku hampir sampai pada dermaga yang melabuhkan hasratku untuk meninggalkanmu. Meninggalkan jalan terjal yang dulu pernah kita lewati bersama asa dan mimpi. Meninggalkan rinai indah, bulir hujan di ujung Desember. Aku hampir bergegas mengepak sayap menuju Januari yang menyisakan musim dingin, dan aroma tubuhmu. Aku hendak terbang melewati wangi cinta yang kau taburkan pada relung jiwaku. Namun, kudekap waktu dan kubisikan lirih padamu. “Aku berat melepas setiap detik waktu tanpa memikirkanmu”. Dan angin di laut pun bergemuruh penuh kekhusuan, menyanyikan khayalan indah akan diriku yang selalu mencintaimu. Tak kupedulikan senja yang mengolok rindu yang mendera batinku. Kuurai tawa dan tangisku diatas pasir putih yang kau bawakan malam itu. Terseret gelombang dan terbawa pada buih. “Bersabarlah, aku akan tetap menyayangimu,” tuturmu lirih ,mendarat menembus dinding kebekuan hati. Membuat aku tetap bertahan dan berharap semua akan segera kumiliki seutuhnya. Namun semua itu hanya berkali menyakiti perasaanku yang semakin dalam kepadamu. Sikapmu yang tidak bisa memilih antara aku dan dia membuat aku semakin jauh dari kepastian. Namun, pernakah kau peduli sedikit saja terhadap perasaanku agar rasa rindu ini terobati. Gusti, ujung Desember berat untuk aku lalui. Begitu pun, Januari dan bulan lain pasti akan tetap menitipkan gerimis hujan yang mengundang perih, dan tawa kemenaangan itu mempermainkan perasaanku yang kadang melemahkan rasa cinta yang tidak bisa terungkap kepada siapa pun. “Mengertilah,” kata mu singkat tanpa bisa aku maknai. Jiwaku meradang pada luka yang mengkarat. Aku hanya bisa mematung menyaksikan sendunya bola matamu yang indah. Lalu, bersamaan kita teteskan air mata. Seribu tanya dan penyesalan memenuhi ruang hati kita yang terlalu penuh dengan beban perasaan masing-masing. Mengapa cinta harus hadir di antara kita. Saat hatimu dimilikinya. Selamanya tidak akan lagi ada musim panas yang memberiku kehangatan. Karena sinarnya telah terenggut salju sepanjang waktu. Salju dingin dihatimu yang tetap beku, dan tetap menggengam hati dia, perempuan yang menyayangimu. Kita, melukis kisah tak sempurna diatas kanvas milik perempuan lemah yang teramat mengagumimu. Perempuan yang sempat aku kuatkan untuk terus berusaha meraih cintamu. Sekarang, dia memilikimu dan hatiku luruh memilukan. Aku tersesal dalam pojok keterasingan. Pojok yang selalu menyudutkanku merangkai luka yang lebih dalam. Masihkah aku harus mengertikan posisimu ? Aku tidak sekuat yang aku kira. ****** Senja sudah kembali pada peraduannya dan menyadari kehadiran bulan pada malam gelap. Tapi, aku masih belum sadar akan arti diriku yang selalu menyayangimu, menyayangi laki-laki yang juga punya cinta untuk perempuan itu. Lalu malam berbisik lirih penuh tanya akan keegoan yang membuncah dipikiranku. Ego yang mengorbankan kebahagian perempuan itu. Maafkan aku, jika memang masih sudih kata maaf itu pantas aku lontarkan pada hatimu yang terluka wahai perempuan lemah. Aku tak sanggup memanggilmu perempuan tegar, karena aku tahu betapa lemah dia tanpa kehadiran lelaki yang sama aku cintai. Namun, aku kembali egois dan tak mungkin aku lepaskan laki-lakiku untuk sepenuhnya dia miliki. Aku belum siap kehilangan laki-laki yang memebrikanku cerita indah tentang cinta terlarang. Sekali lagi maafkan aku perempuan lemah, karena pada akhirnya aku menyadari aku juga perempuan lemah yang tidak bisa hidup tanpanya. Aku menyadari kesalahan ini teramat menyakitkan hatimu perempuan, aku tak ingin ini terjadi. Tapi, aku tak bisa mencegah arus deras cinta yang hadir diantara kebersamaan aku dan lelakimu yang terbalut indahnya persahabatan. Huh, ingin rasanya aku menghela nafas dalam, agar rongga dadaku sedikit lega. Naamun, terlau banyak polusi cinta yang aku hirup yang justru membuat aku kehilangan makna dan arti kehadiran cinta yang membuat kita sama-sama terbelenggu dalam luka di ujung Desember. Ya, ujung Desember. Masih ingtakah ketika kita, aku, kamu dan dia duduk di bawah rindang pohon besar di sudut kampus. Disana kita bercerita tentang laki-laki kita. Saat itu, kamu paksa laki-laki itu mengungkapkan siapa yang sebenarnya dia cintai. Aku hanya pasrah dan tersudutkan. Pastilah ia hanya bilang mencintaimu, karena aku tahu posisiku hanya yang kedua. Aku sakit, namun harus aku terima. Dan lirih gemercik hujan menghanyutkan perasaanku, seiring kutinggalkan kalian berdua dalam bahagia. Aku tahu laki-laki itu juga terluka. Namun, dia harus membahagiakanmu, dan berhenti untuk tidak berlari mengejarku. Lalu segudang maaf atas semua yang terjadi terlontar dari mulut kelunya. Aku hanya tersenyum pilu, aku bahaagia meski ujung Desember memberiku perihnya luka. Dan hari-hari kita lalui penuh kehampan dan kepalsuan yang menjerat kebencian. Aku membencimu karena bahagia bersamanya, aku membenci laki-laki kita yang menitipkan dan menyemai cinta yang membuat kita sama-sama terjatuh. Dan aku membenci diriku sendiri karena terlalu bodoh memberikan seutuhnya sisa cintaku untuk laki-laki yang ternyata salah untuk aku cintai. Terlanjur, mungkin kata itu mengikat kuat rasa yang enggan aku tinggalkan. Membuat angin malam tak lagi menyentuh helain rambutku, seakan berpaling dan murka melihat keangkuhanku mempertahankan benih cinta yang subur tersiram air mata. Tumbuh subur dalam luka yang tak ingin ku akhiri tanpa sosoknya disisiku. Ada bingkisan luka juga cerita indah yang laki-laki kita berikan sebagai hadiah mengenalnya. Aku tahu dan aku pahami ini bukanlah kemaun laki-laki kita, atau keinginan kita untuk terjatuh pada lubang yang sama. Lubang yang memberikan kita celah untuk jatuh cinta. Jatuh cinta ? ya jatuh cinta yang membuat kita sengsara. Dan tak ada sedikit punkebahagiaan disana. ada saat masing-masing kita melengkungkan garis bibir kebahagian dengan senyum tulus penuh cinta. Tak sadar ada kesakitan yang teramat diantara kita yang tidak bisa memiliki seutuhnya cinta itu. Cinta yang harus terbagi, terbagi dengan kebahagianmu juga kebahagianku. Aku perempuan lemah dan kamu perempuan lemah, dan kita sama-sama lemah karena satu cinta yang salah. Salah ? okh tidak, tidak ada yang salah tapi kita tidak tepat bertemu dengan cinta kita. Pada akhirnya Desember hanya meminjamkan ruang untuk kita berluka ria. Aku ingin kita bahagia tapi sanggupkah kita berbagi dalam satu cinta, cinta laki-laki indah yang membuat kita terpesona. Dan serasa menemukan arti cinta sebenarnya. Akh, hujan diujung Desember menjadi hujan cinta yang penuh luka. 
 @aku takut bulan desember itu datang dan kembali membawakan hujan luka
 memoar 29 Desember 2011 di sudut kampus kita bercerita tentang lelaki kita :(