Sabtu, 29 September 2012

Resensi Buku Jurnalistik

Judul Buku   :   Analisis Wacana ( Pengantar    Analisis Teks Media)

Penulis               :    Eriyanto

Jumlah Halaman :    371 Halaman

Terbit                 :   Cetakan Pertama 2011

                             Cetakan Kedua  2012

Penerbit             :  LKiS

 

 

 

 

Memaknai Isi Teks Media Melalui Analisis Wacana 

Dewasa ini dunia media informasi dan komunikasi luar biasa tumbuh melimpah ruah. Hal ini tentu berkaitan dengan makin banyak, beragam, dan canggihnya industry media informasi dan komunikasi, mulai cetak hingga elektronik, menawarkan berita, dan sensasi. Di sisi lain, kita juga menyaksikan kebebasan yang dimiliki oleh penggiat media dalam berbagai pemberitaannya, beriring dengan gagasan reformasi dan demokrasi politik setelah tumbangnya rezim lama. Berita-berita ekonomi,  budaya, social, politik berhamburan dan menyerbu hampir setiap menit; gossip, humor, intrik para selebritis gencar menuntut perhatian. 

Tentu saja pemberitaan-pemberitaan ini hadir dengan teks berita yang kadang membuat kita bingung memaknai isi pesan yang disampaikan. Tak jarang kita di buat kaget oleh kemunculan sebuah berita yang tampak tiba-tiba, asing, dan berani. Hal ini bisa membuat kita pusing jika di biarkan begitu saja, butuh filterisasi dan menelisik lebih jauh bagaimana dan mengapa berita-berita itu dihadirkan. Dengan begitu kita akan segera tahu bahwa terdapat motif-motif politik ideologis tertentu yang tersembunyi di balik teks-teks berita tersebut. Secara sederhana, cara membaca lebih mendalam dan jauh ini disebut sebagai analisis wacana.  

Analisis wacana merupakan salah satu alternatif terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam analisis media yang selama ini lebih di dominasi oleh analisis isi konvensional dengan pradigma positif atau konstruktivisnya. Jika yang kedua ini terpancang pada pertanyaan “apa” maka analisis wacana jauh lebih jauh pada “bagaimana” dari sebuah pesan atau teks komunikasi.

Maka buku karangan  Eriyanto  setebal 371 halaman yang berisikan metodologis dan teoritis ke analisisian wacana ini  bagus untuk dipelajarai. Isi buku dilengkapi dengan contoh teks berita yang memberikan gambaran dengan gamblang pada kita untuk mengetahui maksud-maksud teks berita yang disuguhkan. Secara umum buku ini juga membahas mengenai analisis wacana dan penerapannya dalam studi analisis isi media. Di jelaskan pula konsep penting analisis wacana, tokoh, dan pendekatan yang dipakai serta penerapannya dalam contoh kasus analisis berita.

Selain itu buku analisis wacana tidak hanya menjadi kajian bagi mereka yang berlatarbelakang Ilmu komunikasi. Analisis wacana juga bisa menjadi kajian-dalam bidang ilmu lainnya khususnya dalam lingkup ilmu-ilmu social, humaniora, dan susastra.



Kamis, 06 September 2012

Kekuatan Sebuah Nama Pena

Haiii, 

Kenalin namaku Siti Surhana dan nama penaku Nurhana Yatziano. Nama yang terdiri dari dua kata "Nurhana dan Yatziano," ini memiliki filosofi yang dalem banget buat aku. Kalau dijabarin menurut pemikiranku  begini artinya,

Nurhana  ini adalah gabungan nama yang diambil dari ujung nama asli ku Surhana yang ditambah Nur

Yatziano adalah gabungan nama kedua orangtuaku Yatzi(Yati) nama ibuku ano adalah nama dari bapak aku(H.Kano). 

Secara keseluruhan begini artinya, jadi aku ini adalah cahaya kasih sayang bagi kedua orangtuaku dan setiap jengkal kesuksesanku adalah tidak terlepas dari kedua orangtuaku. Sebetulnya sih mungkin kurang nyambung kalau dikaitkan dengan pemaknaan bahasa secara harfiah atau pun lugot. Tapi aku sambung-sambungi aja yang penting pemaknaannya baik bukan ? #hee cari pembenaran :)

Oke, terlepas dari makna sebuah nama penaku yang jelas setelah aku mulai mengikrarkan nama ini ditahun 2011 kehidupan aku berubah 180 derajat terlebih dalam bidang kepenulisan.  Dengan sendirinya semangat aku meletup-letup bagaikan Bom yang mau meledak jika tidak segera diatasi. Aku mulai keranjingan nulis, nuilis apa saja, bahkan hal sepele pun aku tulis dibuku harianku. Sebelumnya juga memang aku suka menulis dan membaca, tapi ada kekuatan lain yang aku dapatkan setelah memiliki nama pena.

Awalnya aku nggak engeh sama yang namanya nama pena. Aku nulis ya nulis aja. Bebera cerpen atau pun artikel yang aku buat pada waktu zaman dulu tetap menggunakan nama asli. Dan entah kenapa tidak ada keberanian buat mempublikasikannya ke media masa. Paling hanya nongol dibuku harian atau pun di mading sekolah. Setelah itu ya sudah tidak ada yang membekas.

Hingga 2011, aku masuk komunitas literasi "Rumah Dunia" yang di asuh ayahanda Gol A Gong dan ibunda Tias Tantaka (heee, karena beliau lah aku berani bermimpi). Ditempat ini lah semua berawal, semangatku yang mulai mengendor dalam dunia kepenulisan mulai bangkit lagi. Kepercayaan diri yang tinggi membakar semangat aku untuk menghasilkan sebuah karya. Dan disini juga nama pena aku dikasih masukan sama kedua orang berpengaruh dalam perjalanan kepenulisanku ini.

Dan aku masih ingat pelajaran pertama yang aku pelajari adalah tentang materi jurnalistik, karena menurut Gol A Gong jika sudah menguasai hal ini maka akan mudah untuk menulis fiksi baik cerpen atau pun novel dan sejenisnya. Setelah materi ini selesai maka saatnya mempelajari materi fiksi. Disinilah Gol A Gong menyuruh membuat nama pena.

Benar apa yang dikatakan Gol A Gong, dengan memulai membuat nama pena, otak kita sudah berimajinasi dan berpikir kreatif. Hal ini aku buktikan sendiri, aku mulai menuangkan banyak ide dalam tulisan dimulai dari  pembuatan nama pena tersebut.

Sekarang  banyak hal yang aku dapatkan dari nama ini, mulai dari tumbuhnya kembali semangat dan kepercayaan aku buat menulis hingga aku berhasil mebuat sebuat tulisan dan dipublikasikan  serta banyak dibaca orang. Kritik dan saran sudah pasti berdatangan dan hal ini memberikan masukan yang berarti.

Salah satu karya tulisanku adalah terbit dalam antologi kumpulan cerpen yang ditulis bersama  25 penulis muda Banten, cerpen ku juga pernah terbit di koran lokal, beberapa kali menulis dongeng dan cerita anak di salah satu koran lokal yang sama, dan beberapa kumpulan cerpen aku dimuat dan dibukukan dalam beberapa antologi keroyokan.

Nah,

Meski banyak penulis hebat yang tetap menggunakan nama aslinya, bagi aku nama pena memang penitng dan memberikan kekuatan serta keberuntungan tersendiri bagi pemiliknya. So  mari menulis dan mulai mebuat nama pena, hehee :)

Inilah saat pertama belajar tentang kepenulisan bersama Gol A Gong dan relawan Rumah Dunia di bawah pohon nangka yang rindang. Dan sebentar lagi di tempat ini akan mewujud sebuah gedung literasi (Taman Ismail marjukinya Banten) jadi tidak hanya Jakarta aja yang punya, Banten juga punya. Semoga, amiin :)

Cerita Tak Ber-ending


“Entahlah”!

Selalu saja kata itu yang keluar dari pikiranku. Mengepungku. Memenjarakan jiwaku. Ini gila.

Kamu tahu kenapa ?

Karena aku tidak tahu lagi harus dengan apa menggambarkan luka ini.

Perihnya menyayat-nyayat. Menari indah dibenaku,  menyiksa, sial.

Bergentayangan dan menghantui hari-hariku.

Kelam, gelap, dan tidak ada yang bisa ku pagut dari kisah ini.

Selain, luka, kecewa dan merana.

Aku hanya bisa mengutuk diriku sendiri, setelah janji tengah malam mendekati pagi itu terucap

lancang dari mulutku. Berulang kali kuucap kata janji  itu, hanya sekedar untuk membahagiakanmu

atau  membuatmu tersenyum puas dan  bernafas  lega.

“Aku janji takan pernah menghubungimu lagi. Aku janji, aku janji,” begitulah kalimat pahit yang

pernah kuucapkan untukmu. Mengingkari hati yang sudah tak berbentuk lagi. Remuk.

Dan mendadak butiran hujan turun lebat disudut mataku. Suaraku semakin tersendak. Sakit tak

tertahankan.

Terlebih kau hanya diam dan membisu diujung sana.

Hanya sesekali kata “maaf” terucap dengan riyak air matamu.

Apa yang sebenaranya kita cari? Apa yang sebenarnya kau inginkan?

Maaf, jika aku tak mampu mengerti inginmu.


****

“Lepaskan aku,”  Suaramu  membuyarkan keheningan malam yang mulai memagikan diri

Aku tertunduk lemah, sekali lagi hujan turun semakin deras bukan lagi dari sudut mataku tapi lebih

dalam pun hatiku semakin karam.

Janjiku semakin kupatri setelah kutahu inginmu.

“Aku tidak akan menggagu hidupmu lagi, tidak akan.  Pergilah sayang !”kataku  lirih nyaris  tak

bernyawa. Seolah akulah pengganggumu, tanpa di sadarai kaulah yang mulai menggangguku

hingga arus cinta itu mengalir deras dan tak dapat kita bendung lagi

Jiwaku serasa remuk redam, tak percaya kau memintaku mengakhiri rasa itu.

Jujur aku tak sanggup, tidak akan pernah sanggup.

Hatiku telah kutanam dalam pada celah hatimu.

Telah kita semai rasa itu, menyiraminya dan memupuknya dengan tawa, tangis, manis, luka dan

suka.

“Inikah akhir dari cinta terlarang ini, sayang,” gumamku nelangsa.

***

Saat-saat seperti ini aku berharap kau berlari dan memburuku.

Seperti waktu-waktu lalu.

Setelah kau ucap kata pisah, kau selalu datang kembali.

Memeluku, mengecup keningku, menyentuh lembut bibirku dan wangi desah nafasmu selalu

menenangkanku.

 Lalu, seribu janji kau ucapkan.

“Maafkan aku, aku janji takan meninggalkanmu. Aku selalu ada untukmu, disampingmu dan

Menjagamu. Aku menyayangimu, sayang,” katamu syahdu.

Ingin rasanya, kalimat itu kau ulang dan kau utarkan lagi untuku. Meluluhkan hatiku yang hampir

membeku karena lukamu.

Tak perlu kau ucapkan kata maaf, aku tak butuh itu. Karena aku selalu memaafkanmu.

Yang ku mau, hadirmu kini. Itu saja.

 Tapi, tak dapat kupaksa inginku untuk terus bersamamu.

Pergilah, tak perlu kau tengok lagi kehancuran hati dan perasaanku.

Takan pernah ku ucapkan “selamat tinggal” kepadamu.

Karena hati kecilku masih menyalakan  seberkas  cahaya akan kembalimu.

Entah Di sudut mana. Entah  diruang hampa tak terkata. Entah di desa atau dikota bahkan dinegara

tak  bernama sekali pun, aku tetap menunggu.

Dan aku pilih jalanku sendiri untuk sendiri.

***

Lalu kau bercakap pada kegamangan hatiku.

Masihkah kupercaya katamu itu.

Entahlah.

“Aku hanya ingin kita bahagia. Percayalah aku takan kembali padanya,”  katamu

“Aku pergi darimu bukan karena untuknya. Aku hanya ingin bebas dari rasa ini.

Aku hanya ingin menikmati hembusan angin tanpa sendat kepedihan.

Kepedihan dibola matamu, juga di matanya,” lanjutmu

meyakinkanku.

Suaramu tertekan, kurasa ada sesak menjalar didadamu. Membuncah tanpa ampun.

Kurasa ada lelah dibenakmu dalam menjalani dua cinta ini.

 Ada sesal menggerogoti hatimu. Juga hatiku. Atau mungkin juga hatinya.

***

“Kita masih bisa  merasakan bahagia, meski dalam jarak tak terukur sekali pun.

Ini bukanlah akhir dari segalanya serahkan saja pada  sang waktu” masih celotehmu.

Benarkah yang kau katakan, atau ini hanya sekedar lelucon tanpa guyon.

Entahlah.

Mengakhiri tapi tidak benar-benar mengakhirinya.

Mungkinkah?

Maksudmu kau hanya melenggang pergi, mencari jarak,?

Yang kutahu setelah kau putuskan pergi, aku seperti tak tahu lagi bagaimana caranya bahagia.

Sedemikian dalam kah rasaku ini untukmu.

Cinta dan kegilaan. Benar tak dapat kubedakan.

Warasku telah mengendap dalam angan, membumihanguskan logika akalku.

***

Luka itu telah meminta lebih cepat waktunya.

Kini tak perlu lagi ku tunggu  Desember untuk luka kepergianmu seperti tahun lalu.

Lalu, episode tentangmu bagai slide berebut meminta untuk diputar.

Dan dipertontonkan pada jiwaku yang merongrong, luka. Pedih kurasa. Sungguh.

***

Sepertinya cerita tentangmu, takan pernah habis untuk kutulis.

Dihatiku catatan tentangmu, bagai novel tak berending.

Bab ke bab menyimpan sejuta cerita, bahagia, sedih, luka, tawa. Dan hanya aku yang tahu itu.

Hanya aku yang rasa itu.

Maka kucukupkan saja, ceritamu malam ini.

Besok akan kulanjutkan lagi, hingga aku tak sanggup lagi untuk menulis tentangmu.


*Jumat, 17 Agustus 2012

1:34 WIB


Kupeluk wajahmu dalam bayang temaram,

Hingga sejuk embun pagi menyapaku manja  ^^____^^